Jakarta, IDN Times - Setelah delapan bulan berjalan, akhirnya data program vaksinasi COVID-19 terintegrasi dengan data yang dikelola Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Sistem ini dijalankan agar peristiwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang digunakan oleh orang lain saat vaksinasi, tidak kembali berulang.
Direktur Jenderal Dukcapil, Zudan Arif Fakrulloh pada Jumat (6/8/2021) meneken perjanjian kerja dengan tiga instansi lainnya yakni BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Informatika dan Komunikasi.
"Dengan begitu data yang dimasukan akan divalidasi oleh data Dukcapil. Yang kemarin belum ada proses verifikasi dan validasi dengan data di Dukcapil," ujar Zudan ketika memberikan keterangan pers secara daring pada siang ini.
Proses verifikasi baru terjadi bila petugas di fasilitas kesehatan memasukan NIK lebih dari satu kali. Dari sana, data kemudian terhubung dengan data lain di aplikasi PeduliLindungi, Smart Checking, dan PCare.
"Tetapi, bila petugas hanya memasukan NIK sekali dan itu salah, maka masih bisa diterima oleh sistem," katanya lagi.
Selama ini, data NIK yang diinput bisa jadi bukan milik orang yang hendak divaksinasi. Kejadian itu menimpa warga Cikarang, Wasit Ridwan pada 25 Juni 2021 lalu. Ia ditolak divaksinasi karena NIK nya digunakan oleh warga negara Tiongkok. Belakangan, diketahui warga Tiongkok itu keliru menyebut NIK-nya.
Dengan mengintegrasikan data tersebut, maka para pemangku kepentingan menjalankan UU nomor 23 tahun 2006 pasal 64. Isinya, kata Zudan, untuk pelayanan publik harus menggunakan data tunggal yang berbasis NIK. "Data tersebut harus diintegrasikan dengan semua lembaga yang memberikan pelayanan publik," ujarnya.
Lalu, bagaimana cara lembaga atau instansi bisa memanfaatkan data berisi NIK tersebut?