CEK FAKTA: Prabowo Perintahkan Tangkap Jokowi karena Ijazah Palsu

Intinya sih...
Antara tak pernah menurunkan pemberitaan soal perintah Prabowo tangkap JokowiKonten yang terbit di ANTARA merupakan produk jurnalistik yang direkayasa, tidak ada pembahasan mengenai perintah penangkapan Jokowi oleh Prabowo.
Kapolri menyebut tidak ada instruksi penangkapan JokowiProses pemeriksaan laporan ijazah palsu mantan presiden Joko Widodo masih berlanjut, dengan pengumpulan dokumen dan pemeriksaan ilmiah serta melibatkan ahli forensik.
Konten perintah penangkapan Jokowi hoaksKonten yang seolah-olah merupakan pemberitaan dari kantor berita ANTARA dipastikan hoaks, dengan ancaman
Jakarta, IDN Times - Beredar luas narasi di media sosial Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Kapolri untuk menangkap Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo, lantaran menolak untuk menunjukkan ijazah sarjananya sebagai bukti kelulusan dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Agar terkesan meyakinkan, narasi itu dimuat menggunakan logo kantor berita ANTARA. Sehingga seolah itu merupakan bagian dari pemberitaan resmi dari media pelat merah tersebut.
Di dalam narasi yang beredar luas, termuat foto Prabowo dengan Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong di depan pesawat putih yang memiliki desain bendera Indonesia. Judul artikel yang tertulis yakni 'Prabowo tiba di Singapura, Beri Pernyataan Jika Jokowi Tidak Berikan Ijazah Aslinya, Perintahkan Kapolri Tangkap Dia!!'
Konten itu kemudian viral di media sosial, khususnya Facebook. Isu keaslian ijazah Jokowi belum sepenuhnya tutup buku. Sebab, salah satu individu yang melaporkan Jokowi, Rismon Sianipar, mengancam akan melaporkan skripsi mantan Wali Kota Solo itu ke Bareskrim Mabes Polri, sebagai dokumen palsu.
Apakah benar kantor berita ANTARA pernah menurunkan laporan tersebut?
1. Antara tak pernah menurunkan pemberitaan soal perintah Prabowo tangkap Jokowi
Ketika dikonfirmasi kepada Direktur Pemberitaan Kantor berita ANTARA, Irfan Junaidi, konten yang seolah-olah terbit di ANTARA itu merupakan produk jurnalistik yang sudah direkayasa. "Jangan salah gunakan nama baik ANTARA untuk menyebarkan berita bohong," ujar Irfan.
Konten itu sesungguhnya hanya menampilkan foto Prabowo tiba di Singapura dan dijemput langsung oleh PM Lawrence Wong. Tidak ada sama sekali pembahasan mengenai Prabowo memerintahkan untuk menangkap Jokowi terkait dugaan ijazah palsu.
2. Kapolri menyebut tidak ada instruksi penangkapan Jokowi
Sementara, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, proses pemeriksaan mengenai laporan ijazah palsu mantan presiden Joko Widodo masih terus dilakukan. Menurut Sigit, Polri masih mendalami perkara ini dengan mengumpulkan berbagai dokumen.
"Penyelidik saat ini sedang mengumpulkan keterangan-keterangan, dokumen-dokumen, kemudian pembanding-pembanding," ujar Sigit usai melakukan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar pada 25 Juni 2025 lalu.
Ia mengatakan, nantinya hasil dari keterangan dan dokumen tersebut akan dilakukan pemeriksaan uji scientific (ilmiah) dan melibatkan ahli serta laboratorium forensik.
"Dan semua informasi, keterangan yang ditemukan kemudian tentunya menjadi kajian penyidik mengambil langkah lebih lanjut," tutur dia.
3. Konten perintah penangkapan Jokowi hoaks
Dengan adanya temuan tadi, maka dapat dipastikan konten yang seolah-olah merupakan pemberitaan dari kantor berita ANTARA dipastikan hoaks. Bahkan, di dalam situs resminya, ANTARA mengingatkan publik mengenai ancaman dan sanksi yang bisa dikenakan kepada pihak yang menyebarkan konten hoaks.
Ancaman itu tertulis di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang tentang Pers.
Di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE (UU ITE), pada Pasal 28 Ayat (2) disebutkan bahwa:
"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar."