Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke SPBU Pertamina di Jalan Palmerah Utara (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Lebih lanjut, Adisatrya mengatakan, pihak Pertamina mengakui adanya penurunan hingga 10 persen terhadap penjualan Pertamax. Sementara, untuk Pertalite masih terbilang stagnan.
"Nah, terkait peralihan tadi diakui sendiri oleh Direksi Pertamax bahwa di segmen Pertalite hampir tidak ada pergeseran ke tempat lain. Kalau di segmen Pertamax itu turun sekitar 10 persen. Ini cukup signifikan ya," ungkap dia.
Adisatrya menilai anjloknya penjualan Pertamax dipengaruhi dengan isu korupsi dan dugaan pengoplosan. Di sisi lain, segmentasi bensin kelas atas Pertamina bersaing dengan merek lain.
"Karena memang alternatifnya di segmen atas ini ya di mana konsumennya mungkin lebih mampu ya untuk membeli dari brand-brand lain, merek-merek lain yang mereka beralih. Tapi mereka yakini itu mungkin hanya untuk sementara," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Ekonomi Digital dari Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, memperkirakan kerugian konsumen per hari akibat pembelian BBM Pertamax oplosan mencapai Rp47,6 miliar.
Angka itu diperoleh dari harga jual Pertamax pada 2023 per liter-nya mencapai Rp13.400, dikurangi harga jual Pertalite di tahun yang sama, yaitu Rp10.000, lalu dikalikan 14.007,907 (konsumsi Pertamax per hari pada 2023).
Dari angka tersebut, menghasilkan kerugian konsumen mencapai Rp47,6 miliar. Bila dikalikan 360 hari, maka total kerugian konsumen per tahun akibat Pertamax yang dioplos mencapai Rp17,4 triliun.
"Kalau kita hitung per 2023 total ada Rp17,4 triliun kerugian masyarakat, yang itu disebabkan dari consumer loss saja. Belum kita hitung dari mesin yang rusak dan sebagainya. Begitu juga pump gasoline-nya yang rusak dan sebagainya," ujar Nailul ketika memberikan keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Jumat, 28 Februari 2025.
Nailul juga menyebut, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang hilang akibat kerugian konsumen yang muncul dari kasus rasuah tersebut yakni mencapai Rp13,4 triliun. Dari peristiwa tersebut, kata Nailul, membuktikan bahwa yang rugi tidak hanya negara.
"Ada juga kerugian cukup dalam yang dirasakan dari sisi konsumen," tutur dia.
Itu sebabnya CELIOS, kata Nailul, memilih mendampingi LBH Jakarta untuk membuka pos pengaduan bagi korban Pertamax oplosan. Diharapkan, pembukaan pos pengaduan bagi korban lebih bermanfaat dibandingkan sidak dadakan yang dilakukan oleh Komisi XII DPR pada Kamis kemarin.
"Kasus (pengoplosan) terjadi pada 2018-2023, sidaknya dilakukan pada 2025. Ini kan gak make sense," katanya.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara soal modus oplos minyak yang dilakukan para terduga kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ada saat ini bukan dari hasil oplosan, dan tak ada kaitannya dengan modus para tersangka yang mengoplos Pertalite jadi Pertamax pada tahun kasus terjadi.
"Jadi jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang sekarang dipakai itu adalah oplosan, itu enggak tepat," kata dia di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.