Jakarta, IDN Times – Sejak lama aborsi tidak aman dianggap sebagai pandemik dalam sunyi. Menghentikannya adalah hal mendesak bagi penegakan hak asasi manusia dan kesehatan masyarakat. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan setiap tahun ada 19-20 jutaan aborsi dilakukan tanpa memenuhi syarat, atau dilakukan dalam situasi di bawah standar kesehatan.
Hampir 97 persen aborsi tidak aman dilakukan di negara berkembang. Sekitar 68 ribu perempuan meninggal dunia karena praktik ini, jutaan mengalami komplikasi, banyak yang dampaknya permanen. Penyebab kematian paling banyak adalah pendarahan, infeksi dan keracunan.
Situasinya makin memprihatinkan saat pandemik COVID-19. Banyak negara memutuskan melarang praktik aborsi legal dengan alasan bahwa proses ini adalah perlakuan kesehatan yang kurang esensial selama pandemik. Padahal, kondisi harus tinggal di rumah saja selama pandemik, banyak menghasilkan kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan (KTD).
WHO mengategorikan aborsi sebagai tindakan kesehatan yang esensial bagi perempuan, termasuk selama pandemik COVID-19.
Marie Stopes International, organisasi nirlaba yang menyediakan akses kontrasepsi dan aborsi legal, yang beroperasi di 37 negara, mengumumkan data miris berkaitan dengan pandemik COVID-19. Dalam keterangan yang dimuat di laman MSI, pada 20 Agustus 2020, disebutkan bahwa pandemik membuat layanan organisasi Januari sampai Juni 2020 terganggu.
Perempuan yang dilayani fasilitas MSI berkurang 1,9 juta orang dibanding sebelum pandemik. Situasi ini berpotensi terjadinya tambahan 1,5 juta aborsi tidak aman bagi kesehatan perempuan, 900 ribu kehamilan yang tidak direncanakan dan 3.100 tambahan kematian saat melahirkan.
Bagaimana di Indonesia?
Berikut pemantauan yang dilakukan oleh Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI).