Jakarta, IDN Times - Warga di Desa Suralaya, Banten, mengaku kecewa dengan keputusan Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang menghapus limbah abu terbang dan abu dasar hasil pembakaran batu bara dari daftar limbah berbahaya dan beracun (B3). Keputusan itu tertuang di dalam Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Aturan yang merupakan bagian dari turunan UU Cipta Kerja tersebut disahkan awal Februari 2021 lalu.
Edi (42 tahun) mengaku sudah lama tinggal di Desa Suralaya. Tetapi, selama 35 tahun terakhir, ia terpaksa tinggal dekat dengan perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya.
Mengutip situs resmi Indonesia Power, ada 8 unit PLTU yang dibangun di daerah tersebut. PLTU itu memiliki kapasitas I x 625 Mega Watt (MW) dan telah beroperasi sejak 1984 lalu.
Edi menjelaskan saat aturan baru belum disahkan, ia sudah kehilangan adik ipar perempuan karena terlalu lama menghirup abu terbang dari batu bara. "Pada 2010 itu, adik ipar saya baru menikah lalu meninggal. Setelah didiagnosa oleh dokter, paru-parunya terlihat gosong," kata Edi dalam diskusi daring dengan topik "Penghapusan Limbah FABA dari Daftar Limbah B3" pada Jumat (12/3/2021).
Pada 2020 lalu, giliran anak bungsunya yang mengalami penyakit di bagian paru juga karena hal serupa. "Dan yang menyatakan itu bukan saya, tetapi dokter," tutur dia lagi.
Lantaran mengalami pengalaman duka, Edi tegas membantah limbah hasil pengolahan batu bara disebut tidak beracun. Ia mengatakan dampaknya bagi kesehatan tidak terlihat secara instan. Namun, bila terakumulasi, kualitas kesehatan warga semakin menurun.
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh warga supaya mereka tak semakin terdampak dengan aturan baru ini?