JAKARTA, Indonesia —Menggantikan fungsi pintu dan jendela, sebuah tirai hijau muda menggantung kaku di bagian muka sisa-sisa rumah petak berukuran sangat mini itu. Sang pemilik rumah, Tini, 53 tahun, mondar-mandir di depan rumah sambil mengibaskan selembar kain. Di belakangnya, tampak bocah perempuan mengikutinya dengan riang.
Di sekeliling mereka, tampak deretan rumah petak yang nasibnya tak jauh berbeda dari rumah Tini. Hanya tersisa rangka dan dipenuhi berpasir. Kayu dan sampah berserakan hampir di setiap sudut gang.
Begitulah wujud Kampung Taman Kota di RT 16 RW 05, Kembangan Utara, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat kini. Dua pekan lalu, kampung yang terletak tak jauh dari Stasiun Kereta Api Taman Kota itu dilalap api, hingga menewaskan dua warganya.
“Ya, begini saja, kalau siang kami masih di sini. Kalau malam baru kami menumpang di rumah keluarga. Habis, belum bisa bangun ulang rumah juga,” tutur perempuan paruh baya itu ketika Rappler menyambangi sisa rumah petaknya, Senin, 9 April siang itu.
Sebagian rumah di kampung itu masih memiliki tembok utama utuh. Namun, atap dan bagian lainnya sudah jadi abu. Rumah Tini salah satunya. Sambil beranjak memasuki rumah, ia menyibakkan tirai hijau itu. Tampak hamparan terpal biru melingkupi bagian atas rumah bagaikan atap. Dari sudut-sudut ruangan yang tak tertutup, sinar matahari terik menerjang.
“Panas sih, tapi ya mau bagaimana lagi. Siang ya mesti di sini. Kami kan dua keluarga, banyak orangnya, enggak mungkin menumpang dari siang sampai malam di rumah orang,” sambungnya sambil tersenyum, menampilkan deretan gigi yang tak lagi lengkap.
Qori, cucu perempuan Tini sedang tengah asyik bermain selagi neneknya mengisahkan ulang kejadian nahas pada Kamis, 29 Maret petang itu. “Mau nyabut TV juga enggak sempet. Semua habis, celengan Qori, barang-barang. Yang selamat cuma baju yang nempel di badan waktu mau tidur. Mau balik lagi ambil barang, enggak sempat lagi,” kenangnya.
Di deretan yang sama dengan rumah Tini, ada pula sebuah petak yang tertutup terpal biru. Dibandingkan rumah Tini yang hanya habis total di bagian loteng, sisa rumah tetangganya itu lebih minim lagi. Selembar terpal lebar dilekatkan pada dua bidang sisa tembok, dua sisi lainnya tak bersisa.
“Itu yang paling pojok, rumah Bu’de. Sama juga dia, kalau siang diam di situ, tapi kalau malam dia ke kontrakan. Beberapa warga memang sudah pada dapet ngontrak sementara,” kata perempuan kelahiran Wonogiri itu.
Tini menuturkan, tak sanggup untuk mengontrak rumah lagi seperti tetangga yang ia panggil Bu’de itu. Suami Tini, Ali bekerja sebagai sopir bajaj dengan penghasilan pas-pasan. Si Engkong, begitu ia menyebut suaminya yang kelahiran Tigaraksa, Banten, kini sudah berusia 83 tahun dan sempat sakit.
“Malahan sempat dioperasi saluran kencingnya, tapi si Engkong masih saja mau kerja, enggak mau diam orangnya. Sekarang narik bajaj biru dia senang, enggak kayak yang oranye dulu,” imbuhnya.