Epidemiolog UGM: Puncak Gelombang Omicron Tidak Separah Varian Delta

DKI Jakarta jadi perhatian khusus perangi Omicron

Jakarta, IDN Times - Pemerintah memprediksi puncak kasus infeksi varian COVID-19 Omicron akan terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret 2022. Sejumlah daerah, terutama DKI Jakarta mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria Wiratama sependapat dengan prediksi tersebut. Namun, dia menegaskan, lonjakan gelombang Omicron jangan diartikan akan setinggi gelombang kedua saat varian Delta menyerang.

“Tetapi kemungkinan mendekati gelombang pertama, itu pun dengan hospitalisasi yang lebih rendah, karena Omicron cepat menular namun tingkat keparahannya di bawah varian Delta,” ujar dia dalam siaran tertulis, Rabu (19/1/2022).

Baca Juga: DPRD DKI Desak Anies Hapus Sementara Ganjil Genap karena Omicron Naik

1. Pemerintah dan masyarakat harus gencar gerakan 3T dan 5M

Epidemiolog UGM: Puncak Gelombang Omicron Tidak Separah Varian DeltaIlustrasi mobilitas masyarakat selama PPKM Darurat (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Tidak hanya Jakarta, menurut Bayu, beberapa daerah lain, terutama kota-kota yang menjadi destinasi wisata dan daerah dengan mobilitas antar daerah tinggi perlu bersiap.

Daerah-daerah tersebut perlu untuk meningkatkan kembali kemampuan 3T, yaitu pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment) dan melakukan isolasi terpusat.

“Hal ini dikarenakan daerah dengan mobilitas tinggi seperti daerah tujuan wisata, mempunyai potensi terjadi peningkatan kasus akibat peningkatan mobilitas saat libur Natal dan Tahun Baru beberapa waktu lalu," ungkap Bayu.

2. Pembatasan melalui peningkatan level PPKM, dan disiplin karantina

Epidemiolog UGM: Puncak Gelombang Omicron Tidak Separah Varian DeltaPresiden Joko Widodo memutuskan untuk memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah wilayah Pulau Jawa dan Bali hingga 2 Agustus mendatang (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Bayu menyebut jika lonjakan benar terjadi pada akhir Februari hingga Maret, maka pembatasan melalui peningkatan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mungkin akan terjadi, meskipun tidak sampai level tertinggi. Kebijakan ini tentu memerlukan kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah.

Pemerintah, kata Bayu, perlu meningkatkan 3T dan masyarakat harus menjaga 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas), dan menegakkan pemakaian masker secara disiplin.

Sedangkan terkait pelarangan untuk perjalanan dari luar negeri, Bayu menyarankan tidak perlu, selama proses karantina bisa diperbaiki sehingga tidak terjadi kebocoran penularan saat karantina.

“Karena semua orang yang bepergian atau datang dari luar negeri sudah divaksin dosis lengkap, sehingga relatif lebih aman, tinggal proses karantinanya yang lebih ketat. Yang penting lainnya adalah menyampaikan pemahaman kepada masyarakat yang akan ke luar negeri, bahwa kondisi di luar negeri saat ini lebih berbahaya dibandingkan Indonesia, sehingga mereka harus lebih berhati-hati," kata dia.

Baca Juga: Moeldoko: Banyak yang ke Luar Negeri Ngaku Kerja, Tapi Ternyata Wisata

3. Vaksin booster belum efektif perangi Omicron, utamakan pemerataan dosis lengkap

Epidemiolog UGM: Puncak Gelombang Omicron Tidak Separah Varian Deltailustrasi vaksin booster (IDN Times/Aditya Pratama)

Terkait percepatan vaksin ke-3 (booster) untuk mengatasi varian Omicron, Bayu mengatakan, belum bisa melihat efeknya karena baru saja dimulai dan masih belum tinggi cakupannya, sehingga ada kemungkinan belum terlihat efek booster dalam 1-2 bulan ini.

"Yang paling penting saat ini bukan soal booster, tetapi bagaimana memperluas cakupan yang belum mendapatkan dosis lengkap, terutama untuk kelompok rentan dan anak-anak," tegas Bayu.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya