Hoaks Lebih Murah Ketimbang Serangan Fajar

Hoaks jelang pilpres terus meningkat

Jakarta, IDN Times - Peningkatan penyebaran hoaks atau berita bohong sudah menjadi tren di dunia menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden. Selain aman, strategi tersebut juga lebih murah menggaet pemilih dibanding serangan fajar. Hal tersebut terungkap dalam talkshow "Politik Tanpa Hoaks" di Hotel Sultan, Jumat (29/3).

1. Politik tanpa hoaks tidak mungkin

Hoaks Lebih Murah Ketimbang Serangan FajarIstimewa

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto menegaskan politik tanpa hoaks sesuatu yang tidak mungkin. Henri menngungkapkan hoaks sudah menjadi bagian dari political game di berbagai negara. Contohnya, Donald Trump yang terpilih jadi Presiden Amerika Serikat karena penyebaran berita hoaks.

"Jadi saya rasa tidak mungkin politik tanpa hoaks, apalagi jelang pilpres, kalau bentuk negara otoriter bisa tapi kalau demokrasi akan sulit," ungkapnya.

Baca Juga: Kemenkominfo Sebut Dampak Hoaks Telah Sampai ke Masyarakat Pelosok

2. Hoaks lebih murah daripada serangan fajar

Hoaks Lebih Murah Ketimbang Serangan Fajarunsplash.com/@robin_rednine

Henri menambahkan saat ini pengguna smartphone sudah mencapai 150 juta orang. Angka ini bisa berikan kontribusi besar bagi sebuah partai politik dalam konteks penyebaran hoaks untuk pihak lawan.

Apalagi, kata dia, saat ini semua bisa jadi "wartawan", membuat berita atau pesan yang belum tentu benar. Dengan menggandeng buzzer hoaks bisa mudah disebar di media sosial.

"Dengan teknologi, hoaks mudah mempengaruhi pemilih tanpa harus capek-capek mendatangi masyarakat. Jadi lebih murah daripada serangan fajar," paparnya.

3. Hoaks lebih aman, tidak dikejar KPK

Hoaks Lebih Murah Ketimbang Serangan Fajar(Barang bukti uang suap milik Bowo Sidik Pangarso yang ditunjukan oleh penyidik KPK) IDN Times/Santi Dewi

Selain murah, lanjut, Henri penyebaran berita bohong juga dinilai lebih aman karena tidak bisa tertangkap KPK, Bawaslu atau polisi. Henri menerangkan banyak masyarakat yang mempersepsikan UU ITE bisa jerat hoaks padahal tidak mampu, sebab tidak semua berita hoaks bisa dijerat dengan UU ITE.

"Dalam UU ITE hanya ada satu pasal yang berkaitan dengan hoaks yakni Pasal 28 yang menjerat orang yang menyebarkan informasi kebenciannya padahal kebanyakan hoaks yang diserang sistem bukan orangnya, makanya banyak pelaku yang terjerat pasal ini tapi lepas di tengah," jelasnya.

Baca Juga: Menkominfo: 23 Persen Hoaks di Indonesia Terkait Politik

4. Masyarakat tidak suka hoaks

Hoaks Lebih Murah Ketimbang Serangan FajarIDN Times/ Dini suciatiningrum

Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang mengatakan, berdasarkan riset dari 2012 sampai 2018, penyebaran hoaks relatif sepi dari 2012 sampai 2015. Namun awal 2016 sampai 2018 meningkat tajam apalagi jelang Pilpres 2019.

"Sebenarnya masyarakat tidak suka hoaks lho, kami sempat riset dalam satu bulan ada sekitar 200 ribu sampai 300 ribu akun yang menyampaikan sentimen pada hoaks. Saya tidak suka hoaks," ucapnya.

Baca Juga: Menkominfo: 771 Hoaks Menyebar di Indonesia Sejak Agustus 2018

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya