Jelang Putusan MK, Pengamat: Masyarakat Masih Sensitif soal Nepotisme

Dinasti politik di Indonesia itu bukan lagi barang haram

Jakarta. IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pembacaan putusan gugatan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Senin (16/10/2023). Pengamat politik, Ray Rangkuti mengingatkan masyarakat Indonesia masih sensitif dengan praktik nepotisme.

"Ini seperti jelang bencana nasional. Saya kira cerita sejarah ini perlu untuk kita ingatkan kembali meskipun suasananya tentu jauh berbeda, tetapi masyarakat kita ini masih punya sensitivitas yang kuat terhadap praktik-praktik yang disebut dengan nepotisme, yang turunan dari nepotisme itu adalah dinasti politik," ujar Ray dalam diskusi publik di Sadjoe Cafe & Resto, Minggu (15/10/2023).

Baca Juga: 5 Kesalahan saat Memprioritaskan Keluarga, Hindari Praktik Nepotisme!

1. Awal munculnya isu soal nepotisme

Jelang Putusan MK, Pengamat: Masyarakat Masih Sensitif soal NepotismeIlustrasi Soeharto (IDN Times/Mardya Shakti)

Ray menceritakan isu nepotisme sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan, aksi mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto turun dari kursi pimpinan negara.

Aksi mahasiswa itu muncul setelah Presiden Soeharto mengangkat anaknya, Siti Hardiyanti Rukmana atau Mba Tutut, menjadi Menteri Sosial. Padahal, kata Ray, tingkat kepuasaan masyarakat terhadap Golkar saat itu mencapai 75 persen. Presiden Soeharto juga telah menjabat sekitar 32 tahun.

"Artinya sudah sudah lebih dari 30 tahun Pak Harto menjadi presiden, maka kali pertama juga sebetulnya mbak Tutut diminta untuk menjadi menteri sosial, ternyata menimbulkan kemarahan, kejengkelan yang mengakumulasi aktivitas mahasiswa untuk menduduki gedung DPR. Kita ketahui tiga bulan setelah itu, Pak Harto menyatakan berhenti sebagai presiden, itulah awal mula munculnya isu soal nepotisme," paparnya.

Baca Juga: Efek Kaesang hingga Sinyal Prabowo-Gibran dari PSI

2. Mahasiswa 1998 tolak nepotisme zaman Soeharto

Jelang Putusan MK, Pengamat: Masyarakat Masih Sensitif soal NepotismePotret Kerusuhan 98 (wikipedia.org)

Ray mengatakan, saat itu mahasiswa menolak tegas soal nepotisme. Bahkan, isu nepotisme menjadi salah satu dari enam tuntutan yang disuarakan mahasiswa pada 1998.

"Salah salah satu dari enam tuntutan yang paling atas itu adalah tolak KKN, itu yang paling atas, jadi bukan bahan pangan murah, bukan pendidikan murah, tetapi menolak nepotise," katanya.

Baca Juga: Kaesang ke Rumah Kertanegara Pakai Kaos Gambar Prabowo

3. Dinasti politik di Indonesia itu bukan lagi barang haram

Jelang Putusan MK, Pengamat: Masyarakat Masih Sensitif soal NepotismePenyerahan KTA PSI Kaesang Pangarep di kediaman Presiden Jokowi. (IDN Times/Larasati Rey)

Ray mengatakan bentuk nepotisme saat ini sudah mulai terasa melalui dinasti politik. Ia mencontohkan penunjukan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Padahal, Kaesang baru dua hari bergabung menjadi anggota PSI.

"Ini sudah terjadi dalam ranah nasional, kalau Pilkada mungkin orang-orang oke, begitu juga provinsi, tetapi kalau sudah sekali lolos, lolos lagi apalagi di tingkat nasional, artinya kata dinas politik di Indonesia itu bukan lagi barang haram," imbuhnya.

Topik:

  • Dheri Agriesta

Berita Terkini Lainnya