Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom Surabaya

Sulitnya menangani anak-anak terpapar radikal

Jakarta, IDN Times - Puluhan payung warni-warni nampak menghiasi pintu masuk Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perhatian Khusus (BRSAMPK) Handayani, Jakarta Timur pada Senin (17/2) lalu. Ratusan anak yang mengenakan kaus seragam putih, nampak bersiap menunggu kedatangan Iriana Jokowi dan Wury Estu Handayani yang ingin menyapa penghuni balai.

Senyum dan tawa mereka suguhkan saat Ibu Negara dan Ibu Wakil Negara menyapa mereka. Sekilas tidak ada yang berbeda dari anak lain. Namun, di balik tawa dan keceriaan mereka terdapat luka dan cerita yang pedih.

Acara temu sapa tersebut berlangsung tertutup. Seorang petugas pekerja sosial menegur IDN Times agar tidak mengambil foto penghuni balai. "Aturannya seperti itu, karena mereka anak-anak yang harus disembunyikan identitasnya," ucapnya.

IDN Times mulai menjelajah kawasan seluas 4 hektare tersebut. Di atas lahan ini, terdapat beberapa bangunan umum, yakni masjid, galeri, dan 15 bangunan rumah rehabilitasi. Beberapa ruang dalam bangunan ditata mirip ruangan bermain yang diisi karpet warna-warni, buku, serta hasil karya seni anak-anak penghuni balai.

Di ujung barat, terdapat bangunan Laboratorium Terapi Psikososial milik Kementerian Sosial. Bangunan tersebut memiliki empat ruang terapi berukuran 3x4 meter dengan kaca pembatas satu arah.

Dengan nafas tersengal, Neneng Heryani mendatangi IDN Times yang tengah berada di kantor BRSAMPK Handayani. Dia adalah Kepala BRSAMPK Handayani.

"Maaf ya saya capek habis acara," ujarnya membuka percakapan.

Neneng menceritakan balai milik Kementerian Sosial merupakan tempat rehabilitasi anak-anak, baik korban maupun pelaku dari berbagai kasus mulai dari perdagangan, kekerasan, pelecehan seksual, ekonomi, hingga mereka yang terpapar paham radikal.

"Sepanjang 2019 kami sudah menangani 1.406 anak 571 anak yang ditangani di dalam balai rehabilitasi sosial itu dan 835 anak yang ditangani di luar balai dengan kasus yang berbeda, 13 anak di antaranya adalah korban radikalisme," ujarnya.

1. Anak terpapar radikal merupakan kasus yang sulit ditangani

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBalai Rehabitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Neneng mengatakan dari sekian banyak kasus anak yang ditangani BRSAMPK Handayani,  anak yang terpapar paham radikal merupakan kasus yang paling sulit.

"Penanganan paling sulit (kasus) teroris, karena dia seumur hidupnya bersama orang tua yang diberikan pemahaman yang salah. Dia tidak boleh bergaul dengan orang lain, pokoknya yang ada dalam dirinya berasal dari orangtuanya dalam waktu lama, ubah mindset itu sulit banget lho," ungkapnya.

2. Membuka mindset anak yang terpapar radikal tidak mudah

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaKepala BRSAMPK “Handayani” di Jakarta, Neneng Heryani (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Neneng mengakui penanganan anak yang terpapar paham radikal membutuhkan petugas khusus serta waktu yang lebih lama dibanding kasus anak lain. Tidak seperti anak pada kasus pelecahan seksual yang sudah mulai membuka diri dan bersosialisasi paling lama dua minggu rehabilitasi, anak yang terpapar radikal butuh waktu yang jauh lebih lama.

"Butuh perjuangan membuka mindset apalagi kita berhadapan dengan anak. Kita buka pandangan-pandangan baru dengan pendekatan dan terapi yang ramah anak," terangnya.

3. Anak-anak radikal cenderung tertutup

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBalai Rehabitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Neneng menceritakan hampir semua anak terpapar radikal datang ke balai dalam kondisi yang sama. Pertama tiba, mereka enggan menerima orang lain bahkan bersikap tertutup. Dia mencontohkan tujuh anak korban teror bom di Surabaya dan Sidoarjo yang direhabilitasi.

Neneng mengisahkan bagaimana anak-anak yang sudah terdogma oleh orangtua sama sekali tidak mau bersosialisasi. "Pertama kali datang mereka tidak mau disentuh, tidak mau sosialisasi dan bermain, mereka maunya dengan kelompok sendiri, salat juga tidak mau berjemaah," kisahnya.

4. Pekerja sosial berjuang meraih kepercayaan anak-anak teroris

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBalai Rehabitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Neneng menerangkan pada tahap awal, pihaknya akan melakukan observasi pada anak terpapar paham radikal. Pendekatan yang dilakukan sangat pelan, lembut dengan materi khusus.

Tidak hanya itu, BRSAMPK Handayani, juga menggandeng instansi terkait mulai Badan Nasional Penanggulangan Terorism, Kementerian Luar Negeri Kementerian Kesehatan, Kementrian Agama, KPAI dan NGO untuk membuka mindset mereka.

"Selama satu bulan kami tempatkan cluster khusus tapi tergantung anaknya juga sih, jadi anak akan didampingi pekerja sosial selama hampir 24 jam, dengan melakukan pendekatan terus menerus mulai memutar film perjuangan, permainan," ujarnya.

Hal yang terpenting di awal, bukanlah langsung membawa pengaruh positif pada anak, tapi bagaimana anak-anak bisa menaruh kepercayaan. "Itu yang utama, kalau anak sudah percaya ya udah," tambahnya.

5. Pekerja sosial di balai ini dianggap sudah seperti orangtua mereka

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBalai Rehabitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Lebih lanjut Neneng mengatakan setelah anak mulai ada perubahan, dia belajar bersosialiasi. Neneng mengaku tahap ini juga sulit sebab membuat anak percaya pada orang lain tidak mudah, sehingga saat anak bermain harus didampingi pekerja sosial.

"Jadi pekerja sosial sudah dianggap orangtua bagi mereka karena saking dekatnya, sebab pekerja sosial bekerja tidak mengenal waktu juga" tuturnya.

Baca Juga: Komnas PA: Anak dari Orangtua Pendukung ISIS dan Teroris Adalah Korban

6. Anak-anak yang terpapar radikal terkadang tidak paham

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBalai Rehabitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Neneng mengungkapkan sebenarnya anak-anak yang terpapar radikal tersebut tidak paham yang mereka lakukan. "Ada juga yang paham tapi mau gak mau karena menurut perintah orangtuanya karena menurut anak-anak apa yang diajarkan orangtua adalah benar."

"Saat mereka mulai terbuka kami selalu ingatkan agar mereka tidak membenci orang tuanya," imbuh Neneng.

7. Pekerja sosial akan telusuri kondisi keluarganya sebelum kembalikan anak

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaREUTERS/Beawiharta

Neneng menegaskan bahwa masa rehabilitasi anak-anak di balai tersebut maksimal 6 bulan. Jika lebih, akan dikembalikan pada masyarakat. Khusus untuk anak terpapar radikal, harus ada rekomendasi BNPT, Densus 88, Kemenag, dan instansi lainnya saat ingin dikembalikan ke masyarakat.

"Sebelum kami kembalikan ke masyarakat atau orangtuanya. Kami akan melakukan penelusuran, khusus anak terpapar radikal jika orangtua meninggal atau setelah ditelusuri masih ada paham radikal di keluarga besar maka akan kami tempatkan di pondok pesantren yang netral yang sudah bekerja sama," terangnya.

Tidak sekadar dikembalikan, mereka tetap dipantau selam tiga bulan sebelum pengawasan dilakukan pemerintah daerah.

Baca Juga: Sebelum Mencegah, Millennial Diminta Pahami Dulu Apa Itu Radikalisme 

8. Antarakan anak teroris ke seperti anak lain jadi kepuasan

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBiro Pers Setpres

Neneng mengaku menangani anak-anak terpapar radikal hingga sadar dan bisa kembali ke masyarakat menciptakan kepuasan batin tersendiri. "Hingga mereka seperti anak umumnya bisa sekolah dan mempunyai impian dan cita-cita," ujarnya.

Tidak heran, momen mengembalikan anak-anak ke masyarakat menjadi momen yang mengharukan. "Hampir tiap hari dampingi dari pertama yang tidak kenal sampai anggap orangtua sendiri, pada menangis saat perpisahan tersebut," imbuh dia.

9. Dengan kesuksesan mengubah mindset anak, mereka siap tangani anak eks ISIS

Kisah Neneng Tangani Anak-Anak Teroris Termasuk Teroris Bom SurabayaBalai Rehabitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Terkait rencana pemulangan anak-anak Eks WNI ISI, Neneng menegaskan BRSAMPK Handayani sudah terbukti bisa menangani anak-anak terpapar radikal. Pihaknya hanya akan menjalankan dan melayani sesuai perintah negara.

"Mengubah sikap dan mindset anak butuh perjuangan luar biasa. Bayangkan, awalnya gak mau makan daging ayam, sapi yang disembelih hanya mau makan sayuran tapi sekarang mau makan ayam. Dulu salat sendirian sekarang mau berjamaah, dan saya puas melihat mereka kembali ke masyarakat sama seperti anak lain yang memperoleh hak yang sama," tutur Neneng.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: 600 Siswa SD dan SMP di Kota Bandung Terpapar Paham Radikal

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya