LaporCovid-19: Ribuan Data Publik Bocor karena Pemerintah Abai
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Platform LaporCovid-19 menilai kebocoran data publik akan terus terjadi jika pemerintah mengabaikan aspek keamanan.
Relawan Laporcovid-19, Firdaus Ferdiansyah mengatakan, dalam satu tahun terakhir sudah terjadi sejumlah kebocoran data publik baik yang dilakukan oleh hacker maupun karena kelalaian pemerintah.
1. Pemerintah daerah buka data hasil COVID-19 warga
Firdaus merinci pada pertengahan 2020, ribuan database pasien COVID-19 bocor dan diperjualbelikan di forum internet.
Lalu Maret 2020, ribuan data warga penerima bansos di Tegal dibuka untuk publik oleh Pemerintah Kota Tegal. Kondisi serupa juga terjadi di Tangerang Selatan yang membuka data penerima bansos pada Juli 2020.
Yang terbaru juga, LaporCovid-19 menerima aduan warga bahwa banyak pemerintah daerah yang terang-terangan membuka data pribadi warganya.
"Bahkan baru-baru ini kami menerima laporan warga ada salah satu daerah di Kalimantan Selatan yang membuka data-data hasil COVID- 19 beserta nama, alamat, sampai NIK. Ini cukup berbahaya apabila lingkungan kondisi sekitar masih kurang mendukung, bisa menimbulkan diskriminasi atau perlakuan yang tidak mengenakkan," ujarnya dalam diskusi dipantau virtual, Rabu (15/9/2021).
Baca Juga: LaporCovid-19 Temukan Banyak Vaksin Booster Bocor ke Non-Nakes
2. Data BPJS Kesehatan dan E-Hac bocor namun dibiarkan
Firdaus menambahkan kebocoran data pribadi terulang di tahun ini. Pada Mei 2021, sebanyak 279 juta data peserta BPJS Kesehatan bocor dan diperjualbelikan.
"Yang sedang ramai data pengguna aplikasi E-Hack Kementerian Kesehatan yang dibiarkan tanpa pengamanan yang serius," imbuhnya.
3. Data seharusnya dilindungi dibuka dan data yang dibuka ditutupi
Firdaus menegaskan kebocoran identitas digital memiliki konsekuensi tindak kejahatan, serta berujung tidak keamanan dan keselamatan bahkan misalnya diskriminasi terhadap warga yang memiliki penyakit tertentu yang dianggap tabu.
Firdaus juga menggarisbawahi data yang seharusnya dilindungi justru dibiarkan terbuka tanpa pengamanan, tetapi sebaliknya data yang harusnya dibuka secara transparan cenderung ditutupi.
"Misalkan testing yang seharusnya dibuka untuk kepentingan epidemiologi, atau data anggaran dana vaksin, pengadaan alat-alat kesehatan, kemudian data penggunaan dana COVID, jugab laporan KIPI vaksin yang sampai sekarang belum ada evaluasi," paparnya.
Baca Juga: LaporCovid-19: Pemerintah Harus Benahi Data Kematian, Bukan Abaikan