Pakar Prediksi Puncak Omicron 3 Bulan Usai Kasus Pertama, Lebaran?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar mikrobiologi Universitas Indonesia (UI) Amin Soebandrio, memprediksi puncak gelombang kasus COVID-19 Omicron muncul dalam dua sampai tiga bulan sejak kasus pertama terdeteksi.
"Kalau melihat negara-negara lain, prediksi puncak kasus COVID-19 khususnya varian Omicron, muncul dalam dua sampai tiga bulan sejak kasus pertama terdeteksi. Kemungkinan pola yang sama juga terjadi di Indonesia," jelas Amin dalam Konferensi Pers DBS Asian Insights Conference 2022: Towards a Revolutionary Future, di Jakarta, Kamis (24/2/2022).
Baca Juga: Kasus Kematian Akibat Omicron Rendah, Kemenkes: Satu Nyawa Berharga
1. Pemerintah diminta memantau pergerakan jelang Ramadan
Untuk itu, Amin menyarankan agar
pemerintah memantau pergerakan masyarakat terutama menjelang Ramadan dan Lebaran, agar kasus COVID-19 tidak merajalela.
"Bulan puasa, ada aktivitas yang menyebabkan masyarakat berkumpul mulai dari salat tarawih, sampai nanti saat Hari Raya," imbuh Amin
2. Usai Lebaran tahun lalu kasus naik
Editor’s picks
Menengok pengalaman penanganan pandemik COVID-19 tahun lalu, Amin menilai pemerintah telah berhasil mengendalikan mobilitas masyarakat selama bulan Ramadan. Namun usai Lebaran justru mobilitas naik, sehingga Indonesia mengalami puncak kasus gelombang Delta pada Juni-Juli 2021.
"Kita belajar dari pengalaman itu. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga. Kalau semua bisa disiplin, menerapkan 5M, di sisi lain pemerintah juga konsisten 3T, itu akan sangat luar biasa," imbuh Amin.
3. Omicron tidak menimbulkan morbiditas atau gejala klinis berat
Amin menjelaskan, varian Omicron memiliki jumlah mutasi lebih banyak dibandingkan virus sebelumnya, sehingga virus COVID-19 tersebut bisa beradaptasi dengan lingkungan yang menyebabkan penularan menjadi lebih cepat.
Namun menurut Amin, tidak seluruh mutasi dapat menguntungkan virus. Pada Omicron, adanya mutasi tersebut membuat varian ini tidak menimbulkan morbiditas atau gejala klinis yang berat.
“Pada dasarnya, risiko infeksi memiliki rumus yaitu keganasan virus dikalikan dengan dosis virus, kemudian dibagi dengan kekebalan. Kekebalan tersebut terbentuk dari vaksinasi maupun infeksi alami ketika seseorang terpapar virus," ujar Amin.