Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi. Warga mengikuti simulasi pemungutan suara di GOR Saparua, Bandung, Jawa Barat, Selasa (30/1/2024). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Ilustrasi. Warga mengikuti simulasi pemungutan suara di GOR Saparua, Bandung, Jawa Barat, Selasa (30/1/2024). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Jakarta, IDN Times - Riset Kalyanamitra mengungkapkan masih adanya diskriminasi gender yang dialami caleg perempuan pada Pemilu 2024. Diskriminasi dilakukan baik peserta, pemilih, maupun penyelenggara.

Direktur Kalyanamitra, Listyowati mengatakan, temuan itu terjadi setidaknya di empat wilayah, seperti di Ambon, Jakarta, Makassar, dan Aceh. Menurutnya, telah terjadi diskriminasi, intimidasi, narasi seksis, dan kekerasan seksual pada caleg perempuan.

“Ada delapan diskriminasi gender dalam pemilu kemarin. Caleg perempuan mengalami seksisme, juga ada pelecehan seksual di sana. Ada juga penyebaran konten seksual perempuan caleg. Ada juga kekerasan seksual di rumah tangga selama pemilu, ada yang cerai dan putus karena perbedaan pilihan, atau ada perempuan yang disuruh mencari uang terus  sedangkan suaminya nyaleg," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (25/7/2024).

1. Pemilu 2024 belum inklusif

Ilustrasi warga menggunakan hak pilih di TPS. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Listyowati menyatakan Pemilu 2024 belum inklusif. Buktinya, bisa dilihat dari jarak yang jauh, kotak suara yang tinggi dan sulit dijangkau untuk disable, tools-nya yang belum disesuaikan dengan disable.

"Isu gender adalah isu inklusif dan interseksional. Kita bisa bicara tentang hak-hak dan representasi perempuan miskin, perempuan adat, perempuan disabilitas, perempuan penghayat kepercayaan minoritas, perempuan dalam politik, marginal, pemilu hendaknya bukan dimaknai sebagai alat kontestasi," ujarnya.

2. Diskriminasi gender dialami mantan Wakil Bupati Sleman

Diskriminasi gender juga dialami politikus PDI Perjuangan, Yuni Satia Rahayu. Mantan Wakil Bupati Sleman itu mengaku pernah diserang dengan informasi bahwa perempuan tak boleh jadi pemimpin untuk memengaruhi publik agar tak memilih dirinya.

“Dalam masyarakat, mereka juga seperti mengharuskan saya memakai jilbab karena seperti ada kepercayaan bahwa semua perempuan harus pakai jilbab. Saya juga dianggap China karena mata saya sipit. Ada juga kepercayaan yang menyatakan bahwa pemimpin itu harus laki laki, pemimpin perempuan belum ada waktu itu, saya jadi wakil bupati yg pertama di Sleman,” tutur Yuni Satia Rahayu.

3. Sering mendapat pertanyaan dukungan dari suami

Ilustrasi pemimpin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

  • Yuni juga sering menerima pertanyaan apakah suaminya mendukung pencalonannya dalam pilkada tersebut. Padahal pertanyaan yang sama jarang ditanyakan pada laki-laki yang mencalonkan diri dalam pemilu atau pilkada.

“Pertanyaan tentang ‘apakah kamu didukung suamimu?’ ini sering saya dengar. Pertanyaan tentang ini, kenapa tidak ditanyakan pada suami-suami dan hanya untuk istri ya? Memang perempuan dan laki harus saling mendukung agar tidak ada lagi pertanyaan seperti ini," ujarnya.

Editorial Team

EditorAryodamar