Dokumen NSA: IMF hingga Tudingan Penghilangan Aktivis oleh Prabowo

Lembaga Arsip Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) merilis 34 kabel rahasia yang berisi sejumlah peristiwa sebelum dan setelah lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Mayoritas dari dokumen tersebut dikirimkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada kantor Departemen Luar Negeri di Washington DC.
Berbagai persoalan disinggung dalam 34 kabel itu. Misalnya, dalam kabel bertanggal 10 November 1997, Prabowo selaku Komandan Kopassus dan menantu Soeharto, mengatakan kepada pejabat Departemen Luar Negeri Stanley Roth bahwa mertuanya "lebih baik mundur pada Maret 1998".
Dalam kabel lain disebutkan juga Prabowo berselisih pendapat dengan Panglima TNI yang kemudian menjabat sebagai Menteri Pertahanan Wiranto. Masalah Tragedi Trisakti dan Semanggi yang sama-sama terjadi pada 1998 pun turut dilaporkan ke Washington. Berikut ini adalah rangkuman dari 34 kabel rahasia tersebut.
1. Dimulai dengan kabar tentang kunjungan Asisten Menteri Luar Negeri AS pada 1997

Halaman pertama telegram tersebut menjelaskan tentang rencana perjalanan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Stanley Roth pada bulan September 1997 ke Indonesia. Didampingi oleh Asisten Khusus Jim Foster. Di Jakarta, Roth berencana bertemu dengan beberapa kolega lamanya seperti Jusaf Wanandi dan Clara Juwono untuk membicarakan tentang acara sosial.
Tak hanya teman lamanya, Roth juga bertemu dengan Komandan Pasukan Khusus Indonesia saat itu yang juga menantu Presiden Soeharto, Prabowo. Salah satu isi percakapan mereka adalah ucapan terima kasih Prabowo kepada Roth atas sumbangan US$3 miliar dalam paket stabilisasi dana moneter internasional (IMF) untuk Indonesia.
Kepada Roth, Prabowo juga menyatakan, "Presiden tidak selalu memahami kekhawatiran dan tekanan dunia" dan menyarankan "Akan lebih baik jika Soeharto mengundurkan diri pada Maret 1998". Bahkan, ia juga menyebut bahwa "era Suharto akan segera berakhir."
2.Kabel tersebut menyebut Bill Clinton dan Soeharto bertemu untuk membicarakan tentang IMF

Pada 24 November 1997, Clinton dan Soeharto kemudian bertemu di Vancouver, Kanada pada KTT ASEAN. Mereka membahas beberapa hal, salah satunya adalah tentang krisis IMF.
Soeharto pun berterima kasih kepada Clinton atas bantuan AS dalam memadamkan kebakaran hutan di Indonesia. Sebaliknya, Clinton menekankan bahwa AS memiliki peran dan kepentingan strategis di Indonesia serta kawasan Asia Tenggara.
Perbincangan mereka berlanjut, Clinton menelepon Soeharto untuk membahas situasi keuangan di Indonesia. Dia mendesak Suharto untuk mendukung reformasi ekonomi dan mempertahankan suku bunga tetap tinggi untuk menjaga stabilitas rupiah. Sebaliknya, ia menjanjikan dukungan penuh bagi Soeharto selama krisis.
Pembicaraan kedua negara berlanjut di tingkat Menteri. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Ariwibowo menelepon Duta Besar AS untuk Indonesia J. Stapleton Roy. Obrolan itu merupakan tindak lanjut serta persiapan kunjungan Clinton ke Indonesia.
Setelah itu, kedua Presiden kembali berbicara melalui telepon. Dalam transkrip yang di telegram tersebut tertulis bahwa Soeharto menguraikan rencananya rincinya dalam dengan IMF. Salah satu yang ia katakan pada Clinton adalah rencana revisi anggaran negara serta reformasi sistem perbankan. Sekali lagi, Clinton meresponsnya dengan menyatakan bahwa AS akan terus terlibat dalam rencana-rencana tersebut.
3.AS janjikan IMF sebagai solusi krisis keuangan

Keinginan AS untuk semakin masuk dalam perekonomian Indonesia kian terlihat kala Clinton menentang rencana Soeharto untuk membentuk dewan mata uang. Menurutnya, pembentukan dewan tersebut justru bisa menyebabkan pelarian mata uang Indonesia. Ia pun menawarkan perjanjian baru dengan IMF sebagai solusi krisis keuangan di Indonesia.
Pada tanggal 6 April, Roth dan Duta Besar Indonesia untuk AS Dorodjatun membahas perjanjian IMF. Roth berharap akan ada perjanjian baru antara Indonesia dan IMF. Selain membahas tentang perjanjian, ia juga mulai menyoroti beberapa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia serta pelarangan demonstrasi di kampus-kampus.
Setelah beberapa pertemuan tersebut, perjanjian baru dengan IMF kian terbuka. Anggota dari dua delegasi staf kongres bertemu dengan tokoh-tokoh oposisi senior pada 13 April. Topik diskusi termasuk paket IMF yang direncanakan, reformasi politik, banyaknya penghilangan paksa serta aktivitas mahasiswa yang makin memanas.
Para peserta diskusi setuju bahwa paket IMF akan menguntungkan Soeharto dalam jangka pendek, tetapi akan berimbas pada kekuasaannya dalam jangka panjang.
Meski sepakat, para pendukung reformasi mengorganisir komite pengawas untuk memantau pelaksanaan rencana tersebut. Mereka berasalan bahwa reformasi politik harus sejalan dengan reformasi ekonomi.
4.Prabowo dituding sebagai dalang penghilangan paksa

Selain soal perjanjian IMF, para peserta diskusi juga mempertanyakan solusi tentang demonstran mahasiswa. Meningkatnya penghilangan diyakini merupakan pekerjaan Prabowo. Megawati menekankan bahwa AS seharusnya tidak berusaha untuk menentukan pemimpin Indonesia berikutnya.
Dokumen tersebut juga ini merinci percakapan antara petugas kedutaan dengan seorang "pemimpin organisasi pelajar". Sang pelajar mengabarkan bahwa penghilangan dilakukan oleh 'Kelompok 4' Kopassus. Kabar itu didapatkannya dari seorang sumber internal Kopassus. Ia juga menyebut bahwa "Kelompok 4" masih di bawah kendali Prabowo. Adapun Prabowo mendapat perintah langsung dari Presiden Soeharto.
Dalam berbagai kesempatan wawancara, termasuk dengan Majalah Panji pada tahun 1999, Prabowo membantah melakukan penculikan. Menurutnya, langkah yang dilakukannya adalah pengamanan aktivis yang radikal agar tak mengganggu jalannya Sidang Umum MPR tahun 1998. Meski begitu, ia tak membantah ada anggotanya yang melakukan penyekapan lebih lama sehingga terkesan adanya penculikan.
5. Wiranto meminta mahasiswa tak turun ke jalan dan di saat bersamaan diskusi mengenai reformasi kian muncul ke permukaan

Dalam dokumen ke-11, pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia mengirim kabel kepada Departemen Luar Negeri di Washington DC yang berisi laporan tentang demonstrasi anti-Soeharto.
Kabel bertanggal 8 Mei 1998, misalnya, melaporkan lembaga militer terbelah dalam hal bagaimana merespons demonstrasi dan sampai sejauh mana mereka harus setia kepada Soeharto.
Mereka juga mengkhawatirkan demonstrasi besar-besaran akan memaksa Soeharto memerintahkan operasi militer penuh kekerasan. Panglima TNI Wiranto berkata kepada demonstrasi mahasiswa agar tak turun ke jalan dan di saat bersamaan meyakinkan mereka bahwa militer tidak akan melakukan kekerasan.
Beberapa hari berselang, terjadi Tragedi Trisakti yang diikuti dengan pembakaran SPBU serta sejumlah kendaraan oleh massa. Kerusuhan memaksa Presiden Soeharto untuk mempersingkat kunjungannya ke Kairo dan kembali ke Jakarta pada 14 Mei.
Untuk menghormati enam mendiang mahasiswa yang dibunuh, ribuan orang berpartisipasi dalam sebuah protes damai di kampus. Pada siang hari, kawasan Jalan Sudirman lumpuh oleh pertikaian antara polisi dan massa yang muncul dari gedung perkantoran dan area sekitar.
6. Diskusi mengenai reformasi politik kian mencuat ke permukaan

Pada 13 Mei, Kedutaan Besar Amerika Serikat kembali mengirim kabel yang mendeskripsikan peningkatan tuntutan massa untuk reformasi politik menyusul pembunuhan Trisakti. Kini, demonstran ikut didukung secara terbuka oleh tokoh-tokoh oposisi pemerintah.
Dalam dua minggu terakhir, Presiden, Ketua DPR RI, dan Menteri Pertahanan mengungkapkan tentang kemungkinan reformasi politik. Usai penembakan 12 Mei di Universitas Trisakti, pejabat-pejabat pemerintah yakin bahwa demonstan takkan menerima reformasi politik yang moderat.
Badan Intelijen Pertahanan Amerika Serikat (DIA) juga melaporkan tentang sikap-sikap satuan militer di Indonesia saat pembunuhan Trisakti. Kabel tersebut mengamati tak ada perubahan aturan main di dalam tubuh ABRI dan bahwa ada “sejumlah pelanggaran keras di Universitas Trisakti untuk beberapa lama dalam situasi-situasi yang sangat tidak provokatif”.
Pejabat DIA mencatat ada “lebih banyak orang mulai meneriakkan bahwa Soeharto harus pergi,” termasuk mantan pendukung militer. Sejumlah sumber berkata Kopassus dan KODAM Jaya terlibat dalam penculikan mahasiswa dan pecahan-pecahan peluru ditemukan di Trisakti membuktikan tentara ABRI menggunakan amunisi itu.
Sentimen anti-Soeharto kian menguat. Dalam kabel bertanggal 14 Mei, Mantan Menteri Dalam Negeri Rudini, seorang bekas pensiunan pemimpin militer yang berpengaruh, percaya keselamatan Presiden Soeharto tak bisa dijamin begitu ia kembali dari Kairo.
Rudini membeberkan bahwa mahasiswa serta tokoh akademik telah mendekatinya untuk menjadi pengganti Soeharto. Rudini berkata ia siap untuk mengambil peran itu dan ia memiliki dukungan mahasiswa serta tokoh-tokoh oposisi ternama. Rudini merencanakan dirinya sebagai Presiden hingga 2002.
7. Tensi yang memanas menyebar ke sejumlah kota lain di Indonesia

Dalam kabel bertanggal 17 Mei 1998, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta melaporkan korban tewas dalam kerusuhan Jakarta meningkat hingga lebih dari 500 jiwa dengan ditemukannya jenazah-jenazah di dalam bangunan yang terbakar.
Lebih dari 1.000 orang telah ditangkap oleh kepolisian dalam kaitan dengan kerusuhan itu. Meski saat itu Jakarta relatif tenang, tapi 15-16 Mei menjadi saat terjadinya kerusuhan di beberapa kota di Jawa Tengah serta Sumatera Utara. Tensi tinggi di Medan usai tiga mahasiswa dilaporkan cedera dalam sebuah penembakan.
Menteri Pertahanan Wiranto merilis hasil awal dari investigasi polisi terhadap penembakan yang menewaskan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Laporan itu mengakui adanya kesalahan yang dibuat aparat keamanan. Sebuah LSM menuntut investigasi terhadap dugaan penembakan lain yang menewaskan mahasiswa di kota-kota lain.
Tentara bersenjata bertemu pada 17 Mei pagi untuk menyelesaikan tensi antara faksi yang dipimpin oleh mantan Menteri Pertahanan/Panglima TNI Wiranto dan Komandan Strategis Prabowo. Setelah melalui sejumlah diskusi, Wiranto akhirnya tak lagi menjadi Panglima TNI dan kembali menduduki posisi Menteri Pertahanan.
8. Usai pengunduran diri Soeharto, posisi Habibie sebagai penerusnya cukup terguncang

Kabel pada 17 Mei melaporkan bahwa ribuan mahasiswa berkumpul di gedung DPR/MPR untuk menuntut pengunduran diri presiden. Berkumpulnya mereka dianggap sebagai penanda protes secara nasional yang mencapai puncaknya pada Rabu dengan apa yang diklaim mahasiswa serta kekuatan lain di oposisi sebagai demonstrasi besar-besaran.
Laporan terakhir mengindikasikan bahwa DPR/MPR siap meminta secara resmi kepada Presiden untuk mundur, meski pasukan bersenjata belum menunjukkan tanda bahwa pihak mereka akan mencabut dukungan untuk Presiden.
Sementara itu, kehidupan di Jakarta diliputi oleh ketidakpastian. Harga-harga kebutuhan pokok meroket, ketersediaan makanan mulai langka di sejumlah area, tampak juga antrian panjang di bank untuk menarik uang, serta meski bisnis dan kantor pemerintahan buka pada 18 Mei, banyak yang tutup lebih awal.
Pada 21 Mei, Soeharto resmi mengundurkan diri. Kedutaan Besar Amerika Serikat menyebut politisi-politisi, aktivis, serta mahasiswa dengan cepat bergerak untuk mendiskusikan posisi Habibie sebagai Presiden dan persoalan-persoalan pelik yang wajib segera diselesaikan.
Mahasiswa bersikeras bahwa protes akan berlanjut sebab beberapa meminta Habibie juga mundur. Habibie tidak mendapatkan dukungan penuh dari partainya atau DPR/MPR, dan beberapa aktivis demokrasi memformulasikan rencana untuk membawa perubahan politik fundamental.
Organisasi-organisasi Islam dan tokoh-tokoh oposisi telah memperlihatkan bahwa mereka bisa menjembatani transisi Habibie, tapi selama periode itu reformasi yang sebenarnya harus terjadi. Jika Habibie tak terbuka terhadap reformasi, maka sidang istimewa di MPR bisa diselenggarakan untuk memakzulkannya.
9. Pertanyaan tentang tahanan politik dan pelanggaran HAM pun muncul

Habibie juga mendapatkan desakan dari sejumlah pihak untuk membebaskan tahanan politik, seperti Xanana Gusmao. Salah satunya ketika anggota delegasi Kongres Amerika Serikat bertemu dengan ketua Komnas HAM Marzuki Darusman seperti ditunjukkan dalam kabel bertanggal 25 Mei.
Marzuki percaya bahwa pemerintahan yang baru bergerak terlalu lambat dalam membebaskan tahanan-tahanan politik. Ia pun percaya pemimpin Pembebasan Timor Timur Xanana Gusmao adalah “tahanan politik, titik”. Lalu, ia disebut khawatir terhadap jurang perbedaan antara polisi dan militer terkait tujuan-tujuan penyelidikan dari penembakan/penghilangan orang yang ada.
Pelanggaran HAM juga menjadi topik hangat. Pada 29 Mei, Kedutaan Besar Amerika Serikat mengirimkan kabel berisi tentang pertemuan anggota kongres dan Menteri Kehakiman Muladi mengenai masalah penyiksaan, represi dan pertanggung jawab militer.
Kabel yang dikirim pada 2 Juni menyebut 18 polisi segera diadili karena dituduh bertanggung jawab atas penembakan empat mahasiswa di Universitas Trisakti pada 12 Mei. Bukti forensik menunjukkan bahwa korban tampaknya sengaja ditargetkan, dengan militer yang diturunkan dari sebuah helikopter untuk menarget mereka.
Komunitas Tionghoa-Indonesia pun menjadi obyek kekhawatiran sejumlah pihak. Pada 3 Agustus, kabel dari Jakarta melaporkan tentang persepsi mereka terhadap beragam kondisi di Indonesia. Mereka dikatakan melihat krisis ini berbeda dari kerusuhan anti-Tionghoa yang terjadi sebelumnya.
Kabel tertanggal 12 Agustus juga menyoroti upaya Komnas HAM untuk menekan pemerintahan baru Habibie agar melakukan investigasi sistematis terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM terbaru yang dilakukan angkatan bersenjata, tak hanya selama protes Mei 1998 yang mendorong lengsernya Soeharto, tapi juga di Aceh, Papua Barat, serta Timor Timur.
Seorang anggota Komnas HAM berkata kepada pejabat-pejabat Amerika Serikat bahwa “pelanggaran oleh ABRI terus berlanjut, tanpa peduli pada kecaman publik dan investigas yang sedang dilangsungkan” dan bahwa “kredibiltas ABRI terus menurun usai kasus per kasus muncul ke permukaan”.
10. Aparat yang diadili disebut hanya menjadi kambing hitam dari para petinggi militer

Kabel yang dikirim ke Washington DC pada 25 September mendeskripsikan pernyataan dari seorang anggota tim pencari fakta pemerintah yang menyelidiki kerusuhan Mei 1998. Saksi menyebut bahwa tim itu menyimpulkan adanya kekerasan seksual yang terkait dengan penculikan dan penyiksaan beberapa aktivis politik dan penembakan di Universitas Trisakti.
Pada 4 Desember, Badan Intelijen Pertahanan Amerika Serikat (DIA) mengutip artikel Kompas terkait hasil forensik terhadap peluru-peluru yang ditemukan di lokasi Tragedi Semanggi yang menewaskan 17 orang pada 13 November. Menurut Kompas, pelakunya adalah kepolisian dan pasukan khusus Indonesia.
Lalu, DIA juga menyinggung tentang tes yang mengungkap amunisi yang digunakan berasal dari senapan M-16 yang disediakan atau dijual oleh Amerika Serikat dan dipakai oleh Komando Khusus Angkatan Darat (KOSTRAD). Kabel ini mencatat bahwa Amerika Serikat menyediakan 28.471 senjata sebagai bantuan besar-besaran sejak 1972-1977 dan jual lebih banyak lagi melalui jalur komersial.
Satu hal lagi yang disebutkan DIA adalah tentang persidangan 11 anggota Kopassus berpangkat rendah yang dituduh berpartisipasi dalam penculikan mahasiswa pada awal bulan tahun 1998. Persidangan itu dilangsungkan pada 21 Desember.
Menurut sumber DIA yang tak disebutkan namanya, “aktivis-aktivis HAM mengatakan 11 orang itu hanya kambing hitam untuk anggota berpangkat tinggi yang memerintahkan penculikan itu,” termasuk Letnan Jenderal Prabowo. Sumber lain yang dikutip DIA mengatakan bahwa petinggi-petinggi militer berusaha menutupi keterlibatan itu.
Ia disebut mengaku di hadapan stafnya sendiri bahwa upaya menutupi kasus-kasus ini sangat mungkin dilakukan oleh pejabat berpangkat tinggi. Tapi, jika terjadi demikian, itu dilakukan demi kebaikan bangsa” sebab “jika kamu mengejar orang-orang senior yang terlibat, ini tidak akan menguntungkan bagi kesejahteraan bangsa”.