DPR Nilai Putusan MK soal Pemilu Masuki Ranah Legislatif

Intinya sih...
Menurut Irawan, sistem pemilu dan pemerintahan tidak bisa dibangun dengan model tambal sulam. Pasalnya, dia menilai, keduanya saling berkaitan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah atau lokal akan jadi acuan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan mengaku masih akan mempelajari putusan MK tersebut. Namun, Irawan menilai, keputusan MK telah memasuki ranah legislatif untuk mengatur sistem kepemiluan.
"Putusan MK tersebut masih kami pelajari. Secara highlight saya baca putusan tersebut, MK jauh memasuki ranah legislatif," kata Irawan kepada jurnaluis, Jumat (27/6/2025).
Dia mengatakan, pihaknya akan mengkaji apakah perlu dorongan untuk amandemen ke-5 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca-Mahkamah Konstitusi (MK) memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal.
Dorongan amandemen UUD bertujuan untuk memperbaiki sistem pemilu dan pemerintahan agar tak mudah diubah oleh mahkamah.
"Sehingga masih perlu kami pelajari apakah tindaklanjut dari putusan MK tersebut cukup dengan dilakukan revisi undang-undang atau lebih jauh dari itu harus dilaksanakan amandemen terhadap UUD 1945," ujar dia.
1. Sistem pemilu dan pemerintahan tak bisa tambal sulam
Menurut Irawan, sistem pemilu dan pemerintahan tidak bisa dibangun dengan model tambal sulam. Pasalnya, dia menilai, keduanya saling berkaitan.
Untuk itu, kata dia, amandemen UUD 1945 itu ditujukan untuk menata sistem pemerintahan dan kepemiluan secara konstitusional.
"Kita tidak bisa membangun sistem pemilu dan sistem pemerintahan dengan model tambal sulam karena semua saling terkait satu sama lain," ujar Irawan.
Menurut Irawan, putusan MK selama ini cenderung bersifat kasuistik dan kerap berubah-ubah. Dia berpandangan, amandemen UU merupakan jalan untuk melakukan penataan secara komprehensif.
"(Amandemen UUD 1944) jalan untuk melakukan penataan secara komprehensif dan konstitusional. Berbeda dengan yang dilakukan oleh MK selama ini yang sifatnya kasuistik dan parsial. Apalagi pendapat MK sendiri juga sering berubah ubah," kata dia.
2. Putusan MK jadi acuan untuk RUU Pemilu
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, memastikan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah atau lokal akan jadi acuan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Uji materiil terhadap UU Pemilu itu dilayangkan oleh lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi Undang-Undang Pemilu yang akan datang. Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi, terutama sekali lagi dalam politik hukum nasional yang menjadi kewenangan konstitusional kami," kata Legislator Kalimantan Selatan tersebut.
3. MK perintahkan pemilu nasional dan lokal dijeda 2 tahun
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan itu dilayangkan oleh lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Kamis (26/6/2025).
Mahkamah menyatakan Pasal 167 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu, MK memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah digelar paling cepat jeda dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Adapun pemilu nasional yang dimaksud meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.