Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Hadiri Rapat. Presiden Korea Utara Kim Jong-un menghadiri rapat Komite Pusat Partai Komunis Korut di Pyongyang, Korut pada 10 April 2018. Foto dari KCNA/AFP
Hadiri Rapat. Presiden Korea Utara Kim Jong-un menghadiri rapat Komite Pusat Partai Komunis Korut di Pyongyang, Korut pada 10 April 2018. Foto dari KCNA/AFP

JAKARTA, Indonesia —Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong-un bakal melakukan sebuah perjalanan historik. Untuk pertama kalinya, Jong-un bakal menyeberangi zona demilitarisasi (demilitarization zone/DMZ) dan bertemu dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in. Keduanya dikabarkan akan membahas denuklirisasi dan langkah-langkah untuk menghentikan permusuhan antara dua negara di Semenanjung Korea itu. 

“Korsel dan Korut mengadakan pembicaraan untuk mengumumkan secara resmi akhir dari konflik militer antara kedua negara,” tulis harian nasional Korsel Munhwa Ilbo sebagaimana dilansir CNBC, Kamis, 19 April. 

Menurut Duta Besar Korsel untuk Indonesia Kim Chang-Beom, pertemuan antara dua pemimpin negara tersebut bakal digelar pada 27 April di Peace House, sebuah rumah milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di kawasan DMZ. Venue pertemuan dipilih langsung oleh Kim Jong-un. 

“Kami menilai itu bagus. Ini simbolik. Kami sudah meyakinkan dia (Jong-un) untuk menyeberang. Kami berharap rumah kecil ini, yaitu Peace House, bisa berubah menjadi ikon perdamaian dan rekonsiliasi,” ujar Chang-Beom kepada wartawan di Jakarta, belum lama ini.

Default Image IDN

Riwayat permusuhan

Sejak memisahkan diri pasca-Perang Dunia II, ketegangan selalu menyelimuti hubungan Korea Selatan dan Korea Utara. Ketika itu, Korut di bawah kendali Russia dan pengaruh China, sedangkan Korsel berada di bawah pengaruh Amerika Serikat (AS). Ketegangan antara kedua negara berlanjut menjadi perang terbuka pada 25 Juni 1950. Seizin Rusia, pasukan militer Korut menyeberangi perbatasan dan menginvasi Korsel. 

Selama tiga tahun, Perang Korea berlangsung dan merenggut puluhan ribu jiwa, baik militer maupun sipil. Perang berakhir pada 27 Juli 1953 lewat gencatan senjata dan pembentukan zona demilitarisasi di perbatasan kedua negara. Namun demikian, secara teknis kedua negara tidak pernah berdamai dan saling mengklaim sebagai penguasa Semenanjung Korea. Sepanjang era Perang Dingin, kedua negara tetap bermusuhan sejalan dengan arah kebijakan AS dan Rusia. 

Setelah pendiri Korut Kim Il-sung meninggal pada 1994, hubungan kedua negara sempat membaik. Di bawah rezim Kim Jong-il, Korut mulai melunak. Hal itu terlihat dengan digelarnya pertemuan tingkat tinggi antara kedua negara pada Juni 2000. Ketika itu, Presiden Korsel Kim Dae-jung bahkan sempat berkunjung ke Korut. 

Namun demikian, hubungan kedua negara kembali memburuk setelah Kim Jong-un mengambil alih ‘tahta’ menyusul kematian Kim Jong-il pada Desember 2011. Korut mengakselerasi program nuklir dan berulang kali menguji coba senjata nuklir di Semenanjung Korea. Korsel merespons dengan memperketat penjagaan perbatasan dan mempersenjatai DMZ. 

Peran AS

Rencana pertemuan antara Korut dan Korsel untuk membahas denuklirisasi tidak terlepas dari peran Presiden Amerika Serikat Donald Trump.  Lewat akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump, Rabu, 17 April lalu, politikus Partai Republik itu mengonfirmasi telah mengirimkan Direktur Central Intelligence Agency (CIA) Mike Pompeo untuk bertemu Kim Jong-un di Korut. Pompeo bakal menyiapkan kedatangan Trump ke Korut. 

Default Image IDN

Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di klub pribadi Trump, Mar-a-Lago, Florida, AS, Trump mengatakan, ia berharap pertemuan antara kedua pemimpin Korea membuahkan hasil. Ia juga mengancam akan membatalkan kunjungannya ke Korut jika muncul gelagat pertemuan dengan Korut bakal sia-sia. 

“Jika kita melihat (pertemuan itu) tidak akan sukses, kita tidak akan menggelarnya. Kita tidak akan menggelarnya. Jika saya berpikir pertemuan itu (dengan Korut) tidak akan membuahkan hasil, maka kami tidak akan datang (ke Korut),” ujar Trump seperti dikutip Guardian

Analisis pakar

Setidaknya ada dua pertanyaan besar yang muncul terkait kemungkian dicapainya kesepakatan damai antara Korsel dan Korut. Pertama, apakah Kim Jong-Un benar-benar serius melucuti persenjataan nuklir Korut? Kedua, apa tuntutan Korut terhadap AS dan Korsel? 

Menurut analis Yonsei University di Seoul, John Delury, Korut bakal menuntut penarikan 28.500 pasukan AS yang disiagakan di Korsel sebagai ‘ganti rugi’ denuklirisasi. Sebagai jalan tengah, John mengatakan, penarikan pasukan bisa dilakukan secara bertahap.

“Bisa saja terjadi penarikan pasukan secara bertahap. Ingat, berbagai manuver yang dilakukan militer Korut terjadi ketika AS dan Korsel menggelar latihan militer bersama,” ujarnya seperti dikutip New York Times

Namun demikian, mantan ahli strategi Departemen Pertahanan Australia Hugh White mengatakan, AS bakal berhati-hati dalam memutuskan menarik seluruh pasukannya dari Korsel. Berkurangnya jumlah pasukan AS di Asia bakal meningkatkan pengaruh China di kawasan tersebut. “Ini (penarikan pasukan) bisa jadi kemenangan besar bagi China,” jelas White. 

—Rappler.com

Editorial Team