Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
 (www.instagram.com/@kemhanri)
Sidang uji materiil Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 mengenai Tentara Nasional Indonesia. (www.instagram.com/@kemhanri)

Intinya sih...

  • UU baru TNI tetap mengakui supremasi sipil

  • Penambahan usia pensiun perwira tinggi TNI malah beri kepastian hukum

  • TNI disebut hanya membantu menangani ancaman siber di bidang pertahanan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK) masih terus bergulir. Sidang berlanjut pada Kamis, 9 Oktober 2025 dengan menghadirkan tiga pemohon, DPR dan pemerintah.

Tidak tanggung-tanggung yang mewakili pemerintah adalah dua wakil menteri yakni Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto dan Wakil Menteri Hukum Eddy O.S. Hiariej. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum, Dhahana Putra, juga hadir. Sementara, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto mewakili parlemen.

Sedangkan pemohon terdiri dari tiga pihak yakni Tri Prasetio Murni, Muhammad Imam Maulana, dan Chandra Jakaria. Belakangan, pihak yang mewakili Imam Maulana memutuskan untuk mencabut gugatan yang sudah terdaftar dengan nomor perkara 82/PUU-XXII/2025. Maka, hanya tersisa dua perkara yang terus lanjut.

Di dalam pembacaan keterangannya, Utut mengatakan, kedua pemohon tidak memiliki legal standing atau hak hukum. Karena dalam pandangan Komisi I DPR, kedua pemohon tidak memiliki pertautan antara kerugian hak dan atau kewajiban konstitusional yang didalilkan dengan batu uji.

"Namun demikian, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi," ujar Utut seperti dikutip dari dokumen risalah persidangan, Jumat (10/10/2025).

Selain itu, politikus dari PDI Perjuangan (PDIP) itu menjelaskan ketentuan yang tertulis di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU Nomor 3 Tahun 2025, yang menyebut membantu tugas pemerintah di daerah dan penjelasannya pada frasa 'mengatasi masalah akibat pemogokan', bukan untuk membatasi hak konstitusional warga untuk berpendapat.

"Poin itu malah menekankan peran TNI yang bersifat membantu secara terbatas dan proporsional atas permintaan pemerintah daerah, khususnya ketika pemogokan berdampak pada terganggunya layanan publik," katanya.

1. UU baru TNI tetap mengakui supremasi sipil

Sidang uji materiil Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 mengenai Tentara Nasional Indonesia. (www.instagram.com/@kemhanri)

Utut kembali menegaskan prinsip 'jarum jam tak akan mungkin ditarik mundur.' Artinya, konsep yang sudah ada sekarang tidak akan kembali pada konsep yang dulu telah disepakati untuk diubah.

"Supremasi sipil dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa kekuasan politik berada di tangan para pemimpin sipil yang dipilih oleh rakyat, yakni presiden. Sementara, sistem militer berfungsi sebagai alat negara untuk menjaga pertahanan, bukan pembuat kebijakan," kata Utut.

Ia menambahkan, istilah dwifungsi justru menimbulkan dikotomi, kecurigaan dan ketegangan yang merusak sistem checks and balances serta stabilitas politik dan pemerintahan. Lagipula supremasi sipil sudah tertuang di dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 dan menjadi pedoman di dalam pertimbangan hukum.

"Konsep supremasi sipil di dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 telah selaras dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan, presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara," tutur dia.

2. Penambahan usia pensiun perwira tinggi TNI malah beri kepastian hukum

Wakil Menteri Hukum, Eddy O.S Hiariej (pojok kanan), Wakil Menteri Pertahanan, Donny Ermawan Taufanto (pojok kiri Wamenkum) dan Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto (di depan Wamenkum) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). (www.instagram/@kemhanri)

Di forum itu, Utut juga menjelaskan Pasal 53 ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2025 soal penambahan masa jabatan pensiun, katanya sudah pernah diatur di dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021. Isinya menyatakan batas usia pensiun prajurit TNI merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Artinya, penambahan usia pensiun sudah sepatutnya dilakukan oleh pemerintah dan DPR.

Di dalam pasal penambahan usia pensiun tersebut tertulis ada batasan penambahan masa jabatan yakni dua kali. Masing-masing penambahan durasinya satu tahun.

"Sehingga, ada batasan yang jelas bagi presiden apabila presiden memandang masih membutuhkan kemampuan seorang perwira tinggi bintang 4 dalam melaksanakan pemerintahan yang dipimpinnya," kata Utut.

3. TNI disebut hanya membantu menangani ancaman siber di bidang pertahanan

Prajurit TNI ketika berkeliling saat melakukan patroli skala besar di Jakarta. (Dokumentasi TNI AD)

Sementara, yang membacakan pandangan pemerintah adalah Wakil Menteri Hukum Eddy O.S. Hiariej. Ia menyoroti soal TNI yang terlibat lewat Operasi Militer Selain Perang (OMSP) berupa serangan siber. Frasa kata 'membantu' di dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 merujuk pada pertahanan siber.

"Yang dimaksud dengan membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber adalah TNI berperan serta di dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan. Dengan demikian, peran TNI di dalam ranah siber tidak dapat dipandang sebagai penyimpangan melainkan wujud nyata dari tugas konstitusional TNI, dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa baik dari ancaman fisik maupun non-fisik," kata Hiariej.

Sidang dilanjutkan pada Kamis, 23 Oktober 2025 untuk mendengarkan keterangan pihak terkait dari TNI, termasuk Panglima TNI dan ahli dari salah satu pemohon.

Editorial Team