Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (ANTARA News/Fathur Rochman)
Dikonfirmasi terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pihaknya ragu pemerintah bakal membahas RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Sebab, selama ini arah politik hukum era Presiden Joko Widodo memang terfokus hanya untuk melemahkan institusi pemberantasan korupsi, salah satu wujud konkretnya adalah merevisi Undang-Undang KPK," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, regulasi-regulasi itu bisa menjadi suplemen bagi pemberantasan korupsi. Dia mencontohkan, jika ada RUU Perampasan Aset, penegak hukum tidak perlu khawatir jika ada pelaku korupsi yang melarikan diri.
"Sebab, yang akan menjadi objek dari penanganan perkara adalah aset milik pelaku tersebut. Selain itu, sistem pembuktian di persidangan pun akan berbeda, karena mengakomodir sistem pembalikan beban pembuktian," ucapnya.
Selain itu, lanjut Kurnia, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal juga harus dibahas. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana suap dengan cara transaksi tunai.
"Sebab, pola transaksi tunai tersebut menghambat penegak hukum untuk mendeteksi kejahatan itu. Terakhir, merevisi UU tipikor dengan menaikkan ancaman hukuman, baik fisik maupun denda," katanya.
Kurnia menambahkan, berdasarkan data ICW pada semester pertama 2020, total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi mencapai Rp39 triliun. Sedangkan vonis pengenaan uang pengganti, hanya Rp2,3 triliun.
"Data ini seharusnya semakin menggambarkan betapa pentingnya mempercepat pengesahan dan pengundangan RUU Perampasan Aset. Jadi ke depan, fokus utama bukan hanya sekadar memenjarakan, akan tetapi juga memulihkan kerugian keuangan negara," tutur dia.