Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tes swab (IDN Times/GrabHealth)

Jakarta, IDN Times - Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bidang Penelitian Fundamental, Herawati Sudoyo mengatakan, selama pandemik COVID-19, ilmuwan atau peneliti bisa menjadi salah satu sumber yang kredibel dalam memberikan informasi ke media massa.

Hal itu diungkapkan dia dalam Talk Show virtual Media Lab Dewan Pers dengan topik Reportase di Masa Pandemik Covid-19.

"Peran dari ilmuwan itu penting sekali pada masa pandemik ini. Nah, saya sendiri belum pernah melihat segitu besarnya peran Ilmuwan di Indonesia dalam membantu untuk memberikan pencerahan kepada publik," ujarnya, Jumat (8/5).

1. Yang harus memberikan informasi terkait COVID-19 adalah pakar yang ahli

instagram.com/eijkmaninstitut

Herawati mengatakan, sebelumnya para peneliti paling tidak suka dengan media massa. Hal ini karena, mereka takut pernyataannya dimaknai dengan berbeda atau salah. Bahkan, hal itu membuat kesan adanya gap antara Ilmuwan dalam berkomunikasi dengan publik mau pun media massa.

"Nah sekarang ini justru kebalikannya malahan juga backfired. Rasanya sekarang banyak sekali ratusan orang sudah jadi ahli virus. Bikin bingung juga," katanya.

"Saya kira penting sekali bahwa yang memberikan informasi adalah mereka-mereka yang memang pakar dalam bidangnya dan juga misalnya dari lembaga yang kita ketahui memang bekerja dalam bidang itu," katanya menambahkan.

2. Tes COVID-19 harus diperbanyak agar bisa menghasilkan prediksi yang tepat dalam penelitian

ilustrasi petugas medis melakukan tes swab kepada salah satu pasien dalam pengawasan (PDP) di Rumah Sakit Umum Kota Tarakan (RSUKT), Kalimantan Utara (ANTARA FOTO/Fachrurrozi)

Dalam memprediksi virus corona, ilmuwan selalu menganalisis dari data-data kasus virus corona yang dipublikasikan pemerintah. Herawati menuturkan, saat ini beberapa negara sudah melakukan prediksi terkait puncak mau pun berakhirnya virus corona. Akan tetapi, prediksi itu harus berdasarkan data yang sebenarnya.

"Jadi, kalau itu tidak ditambah dari sudut deteksi dan dari sudut scientific-nya, prediksi kita bisa salah sebenarnya. Oleh karena itu, dengan perbanyakan atau percepatan tes misalnya, prediksi mungkin bisa diperbaiki," tuturnya.

3. Jurnalis juga harus belajar mengenai science

Ilustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Selain itu, lanjut Herawati, para Jurnalis harus mempelajari science. Hal ini guna membantu para Ilmuwan, untuk bisa memberikan informasi khususnya terkait COVID-19.

"Ini virus yang baru, peneliti saja masih bingung apalagi publik. Walau pun informasi sudah kita berikan, tapi penerimaan dari teman-teman jurnalistik tidak semua sama," jelasnya.

Salah satu contoh kesalahan informasi, terkait penggunaan istilah strain terhadap tiga data hasil urutan genom penyebab COVID-19 di Indonesia.

"Istilah strain itu sepertinya ada yang dipakai kalau di publik, tapi sebenarnya itu salah. Karena yang namanya strain ya coronavirus. Itu adalah strain dari corona. Kan corona SARS-CoV-2, SARS yang dulu kan 1. Pokoknya jangan katakan strain," ujarnya.

Editorial Team