Jakarta, IDN Times - Pada Jumat 13 September lalu, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah mendapat mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Dari ruang rapat Komisi III DPR, 56 anggota parlemen secara aklamasi memilih Kapolda Sumatera Selatan Irjen (Pol) Firli Bahuri sebagai ketua baru komisi antirasuah.
Walau sudah memprediksi Firli akan menjadi pemimpin KPK, namun para pegawai masih sulit menerima kenyataan itu. Betapa tidak, ketika masih bertugas di KPK selama satu tahun dan dua bulan, Firli diduga kuat sudah melakukan pelanggaran berat kode etik. Tidak hanya sekali ia melakukan itu. Berdasarkan catatan penelusuran yang dimiliki oleh tim komisi antirasuah, setidaknya ia sudah melakukan pelanggaran berat sebanyak tiga kali.
Pertama, menemui pihak yang tengah diperiksa dalam kasus dugaan korupsi PT Newmont, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi alias TGB. Kedua, menjemput saksi yang hendak diperiksa oleh penyidik di KPK yakni Wakil Ketua BPK, Bahrullah Akbar. Ketiga, menemui pimpinan partai politik yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada November 2018 lalu.
Namun, mimpi buruk itu belum selesai. Para pegawai tiba-tiba dikejutkan dengan beredarnya surat elektronik dari Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, yang memilih mundur. Kendati menepis mundur karena Firli terpilih, namun sulit untuk tak dimaknai demikian. Pasalnya, pengunduran diri Saut hanya beberapa jam saja setelah keluarnya hasil voting pemilihan pimpinan baru KPK.
"Itu kan (keputusan untuk mundur sebagai pimpinan KPK) akumulasi pemikiran saya. Cuma yang jadi pertanyaan ketika saya mengumumkan itu kan sebenarnya buat (kalangan) internal (pegawai KPK) ya," kata Saut di Yogyakarta pada Sabtu (14/9).
Tak pelak, suasana di KPK menjadi sendu. Tidak cukup sampai di situ, Penasihat KPK, Mohammad Tsani Annafari, menempuh langkah yang sama. Ia tak sanggup bekerja sama dengan Firli yang notabene ia rekomendasikan telah melakukan pelanggaran berat saat di KPK. Dengan memilih Firli, maka sama saja seperti memintanya untuk mundur.
"Kami kan sudah menyampaikan ke semua, kami tidak bisa bekerja dengan baik kalau bukan dengan pimpinan yang memiliki integritas yang baik," kata Tsani melalui telepon secara khusus kepada IDN Times, Minggu (15/9).
Situasi semakin keruh pada Jumat lalu, usai aksi demonstrasi mendukung revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 dan ucapan selamat bagi pimpinan baru, yang berakhir ricuh. Beberapa orang yang diduga provokator merangsek masuk gedung KPK untuk mencopot selubung kain hitam yang menutupi logo dan plang KPK. Wartawan yang tengah meliput di KPK tak luput ikut bentrok dengan demonstran.
Hari itu terasa begitu panjang, karena tiga pimpinan mengaku sudah frustasi melihat sikap DPR dan Presiden. Selain masukannya mengenai rekam jejak Firli tak didengar, mereka pun tidak diajak berdiskusi mengenai revisi UU KPK.
"Dengan berat hati, hari ini Jumat 13 September 2019, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden Republik Indonesia," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo saat memberikan keterangan pers.
Lalu, bagaimana nasib KPK usai tiga pimpinannya menyerahkan mandat mereka kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo? Apakah KPK resmi bubar? Apakah ini menandakan pula tiga pimpinan lainnya turut mundur? Berikut pemaparan Tsani kepada IDN Times melalui sambungan telepon pada Minggu pagi.