Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Dr Pandu Riono mengaku bingung dengan sikap anggota DPR yang begitu ngotot mendukung pengembangan Vaksin Nusantara, yang diinisiasi eks Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto.
Padahal, menurut laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), hasil uji klinis tahap I Vaksin Nusantara dinilai tak memenuhi kaidah ilmiah. Bahkan, 20 dari 28 relawan uji klinis vaksin ini mengalami Kejadian Tak Diinginkan (KTD).
"Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae (muncul bercak berwarna ungu, cokelat atau merah di kulit), lemas, mual, batuk, demam, pilek dan gatal," demikian laporan tertulis setebal tujuh halaman yang disampaikan Kepala BPOM Penny K Lukito pada 14 April 2021.
Dukungan baru terhadap pengembangan Vaksin Nusantara disampaikan anggota Komisi VII DPR yang membidangi penelitian dalam rapat yang digelar pada Rabu, 16 Juni 2021. Dalam kesimpulan rapat yang dibacakan Wakil Ketua Komisi VII, Eddy Soeparno, salah satunya berisi dorongan agar Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19, Ismunandar, memasukan riset vaksin berbasis sel dendritik itu ke dalam konsorsium.
Bila dimasukan ke dalam konsorsium, maka fokus riset vaksin yang diinisiasi Terawan itu dapat diproduksi massal dan dikonsumsi publik. Sebagai informasi, saat ini pemberian Vaksin Nusantara hanya bisa dilakukan dengan metode pelayanan medis dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Pandu menduga ada kepentingan lainnya dari anggota DPR, sehingga begitu ngotot mendukung Vaksin Nusantara. "Sementara, kalau penelitinya diajak berdebat di dunia ilmiah dengan ilmuwan lain, justru tidak berani. Berani (berdebatnya) hanya dengan orang yang gak ngerti di dunia politik. Semuanya itu (penelitian dan riset) harus dilalui melalui kegiatan ilmiah," ungkap Pandu ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Kamis, 17 Juni 2021.
Kegiatan ilmiah yang dimaksud Pandu yaitu para peneliti vaksin berbasis sel dendritik itu mengikuti saran dari BPOM, dengan mengulang kembali penelitiannya dari tahap pra klinis. Kemudian, meminta pengarahan dari BPOM.
"BPOM itu kan menilai berdasarkan evaluasi dari komite independennya, komite ahli dan sains. Berani gak mereka berdebat terbuka dengan komite independen BPOM?" tanya Pandu, lagi.
Lalu, mengapa Terawan justru ikut hadir dalam rapat kerja dengan Komisi VII pada Rab lalu?