Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • Fadli Zon membantah menyangkal pemerkosaan massal pada Mei 1998

  • Dia menyatakan perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, mengklarifikasi pernyataannya yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 dalam wawancara di IDN Times dalam 'Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah,' pada 10 Juni 2025.

Dalam wawancara itu, Fadli mengatakan, peristiwa huru hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk tentang ada atau tidaknya “pemerkosaan massal.” Bahkan liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal “massal” ini.

Menurutnya, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian maupun pelaku. Menurut dia, perlu kehati-hatian dan ketelitian pada data ini karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998.” kata Fadli dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

1. Sebut pernyataannya bukan menyangkal

Fadli Zon di Konferensi Pers Delegasi Indonesia ke Cannes Film Festival di CGV fX Sudirman, Jakarta, Selasa (6/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Dia mengatakan, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar. Hal tersebut pun harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.

Menurut dia, pernyataannya dalam wawancara tersebut menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal.” Dia menilai, pernyataannya dapat memiliki implikasi serius pada karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Dia mengklaim, pernyataannya bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," kata dia.

2. Istilah massal telah menjadi pokok perdebatan

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)

Dia mengatakan, istilah massal telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehatihatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujar dia.

3. Isu-isu perempuan diklaim telah diakomodasi

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kiri) didampingi Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Titit Lestari (kanan) melihat replika Prasasti Yupa disela-sela peresmian peresmian Gedung Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV di Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (30/5/2025). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc

Menurut dia, kekhawatiran tentang penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia tidak benar. Dia menjelaskan, penulisan buku ini memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Dia mengatakan, dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan soal gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan diklaim telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.

Dia menjabarkan, tema-tema yang dibahas antara lain, kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional. Termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas, kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer, dinamika perempuan dari masa ke masa, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan, serta kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Editorial Team