Oleh Tarida Angelina
JAKARTA, Indonesia — Kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah sebuah temuan baru di Indonesia. Hal ini sudah disuarakan sejak lama. Gaungnya pun terdengar keras. Banyak masyarakat yang ikut memerangi kekerasan terhadap perempuan akan tetapi tidak seimbang dengan semakin banyaknya korban kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini disebabkan masih banyaknya pemikiran mengenai siapa yang berhak disalahkan atas kasus kekerasan terhadap perempuan. Mungkin Anda masih ingat kasus gang rape terhadap seorang siswi SMP di Bengkulu pada November 2017. Saat itu, siswi tersebut diperkosa oleh 11 orang di Desa Talang Rendah, Kecamatan Hulu Palik, Kabupaten Bengkulu Utara. Pemerintah daerah melalui PPAKB merespon kasus ini terjadi karena kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak perempuan.
Kasus pemerkosaan tadi hanya satu dari banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan baik di ranah publik atau ranah privat. Hal ini menjadi perhatian Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan masuk ke dalam Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu 2018) yang dibacakan pada 7 Maret 2018.
Catahu yang merupakan catatan kasus kekerasan terhadap perempuan ini diterima Komnas Perempuan tidak hanya dari Unit Pengaduan Rujukan (UPR) tetapi juga lembaga masyarakat dan institusi pemerintah. Maka dari itu, Komnas Perempuan bersyukur karena pemerintah juga ikut andil dalam memberantas kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Catahu ini juga dikeluarkan setiap tanggal 7 Maret dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret. Komnas Perempuan berharap dengan adanya catatan setiap tahun, kita bisa melihat banyaknya korban bukan hanya dari satu sisi tetapi semua sisi.