Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari. (IDN Times/Santi Dewi)
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari. (IDN Times/Santi Dewi)

Intinya sih...

  • Feri Amsari menyebut Jokowi tidak konsisten antara kata dan perbuatan, menjulukinya PKB atau Presiden Kebalikan Bicaranya.
  • Alasan Jokowi terpilih karena ambang batas pencalonan presiden yang tinggi membuat pilihan calon pemimpin terbatas.
  • Jokowi rajin meminta maaf jelang lengsernya, meski sejumlah pakar menilai permintaan maaf tidak cukup untuk mempertanggung jawabkan program yang merugikan rakyat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengenang mantan Wali Kota Solo, Joko "Jokowi" Widodo sebagai presiden yang sering tidak konsisten antara kata dan perbuatan. Maka, ia menjulukinya PKB atau Presiden Kebalikan Bicaranya. 

"Apa-apa berkebalikan. Mau berantas korupsi, tapi yang dirusak lebih dulu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mau bilang anaknya bukan politisi, faktanya ternyata lebih politisi daripada politisi itu sendiri," ujar Feri di acara Talks PKB Insight Hub di area Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (19/10/2024). 

Meski begitu, Feri bisa memahami bila dulu banyak warga yang jatuh cinta kepada sosok Jokowi dan keluarganya. Apalagi, putra Jokowi sempat berbisnis martabak dan makanan olahan dari pisang.  

Feri mengatakan, biasanya putra presiden masuk ke ruang-ruang elite. Sehingga putra Jokowi menjadi yang pertama tampil ke ruang publik dan menjajakan martabak. 

Ia pun tak menyalahkan publik lantaran mereka kini sadar bahwa Jokowi bersikap semaunya di penghujung kepemimpinan. Bahkan, memaksakan agar putranya menjadi wakil presiden. 

"Sebagai publik, kita berhak sadar belakangan karena memang sistem politik diciptakan. Makanya, apa yang terjadi saat ini adalah penyesalan terhadap Presiden Jokowi," tutur dia. 

1. Jokowi bisa terpilih jadi presiden karena kebijakan presidential treshold

Presiden Jokowi makan siang terakhir bersama Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat (18/10/2024) (dok. Sekretariat Presiden)

Lebih lanjut, kata Feri, alasan mantan Gubernur Jakarta itu terpilih lantaran adanya kebijakan ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold. Pada Pemilu 2014 lalu, Undang-Undang Pemilu menyatakan partai politik yang bisa mengajukan capres harus memiliki 20 persen suara sah di tingkat nasional pada Pemilu 2009 atau 25 persen kursi di parlemen. Maka, ketika itu pilihan capres hanya ada dua Jokowi dan Jusuf "JK" Kalla serta Prabowo Subianto dengan Hatta Rajasa. 

Sedangkan, di Pemilu 2019, UU Pemilu menyatakan parpol yang ingin mengajukan capres harus memiliki 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR atau 20 persen jumlah kursi di parlemen. Saga Jokowi melawan Prabowo kembali terjadi. 

Feri menilai ambang batas pencalonan presiden yang tinggi membuat pilihan calon pemimpin yang disajikan ke publik terbatas. Dalam pandangannya dan sejumlah akademisi, tak mungkin memilih Prabowo sebagai calon presiden.

"Politik ambang batas pencalonan presiden itu yang membuat kita terpaksa memilih Joko Widodo. Karena gak ada pilihan lain. Biar bagaimana pun, saya dan teman-teman gak akan mungkin memilih yang namanya Prabowo. Kita dipaksa memilih, Prabowo atau Jokowi?" katanya. 

2. Jokowi pintar membangun pencitraan diri

Joko Widodo ketika menjadi gubernur Jakarta dan mengecek gorong-gorong. (Dokumentasi Istimewa)

Pemeran pria di dalam film dokumenter 'Dirty Vote' itu menilai Jokowi juga pandai membangun pencitraan terhadap dirinya. Jokowi membentuk persepsi di ruang publik bahwa ia bagian dari rakyat.

Maka, ia kerap blusukan untuk menemui publik. Bahkan, tidak segan-segan hingga masuk ke gorong-gorong untuk mengecek penyebab banjir di Jakarta. 

"Dia kan pandai menghias dirinya. Seolah-olah menjadi malaikat yang muncul dari gorong-gorong. Itu kan kita betul. Oh, orang ini gak malu-malu untuk bersentuhan dengan hal-hal yang kotor, kumuh. Lalu, muncul sikap yang bersedia berbicara dengan anak muda, tidak gengsian," katanya. 

Alhasil, kata Feri, publik seolah tak memiliki pilihan lain selain selama 10 tahun memilih Jokowi. Padahal, sebagai presiden, seorang individu harus memiliki kapasitas dan bisa dilacak rekam jejaknya. 

"Kita hanya terbuai dengan satu peristiwa mengenai pasar di Solo dan itu digadang-gadang oleh media. Publik mengikuti. Sepertinya memang kita terlambat sadar, tapi itu hak publik untuk mengevaluasi diri," imbuhnya. 

3. Jokowi minta maaf di penghujung kepemimpinannya

Presiden Jokowi makan siang terakhir bersama Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat (18/10/2024) (dok. Sekretariat Presiden)

Sementara, jelang lengsernya, Jokowi sudah rajin menyampaikan permintaan maaf ke publik. Permintaan maaf pertama disampaikan pada Agustus 2024 lalu di acara zikir dan doa kebangsaan menjelang HUT ke-79. Jokowi mengaku hanya manusia biasa yang tak mungkin dapat memenuhi harapan semua orang. 

"Dengan segenap kesungguhan dan kerendahan hati, izinkanlah saya dan Kiai Haji Ma'ruf Amin ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini. Khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia dan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia," ujar Jokowi di Istana Negara pada 1 Agustus 2024 lalu. 

"Kami sangat menyadari bahwa sebagai manusia, kami tidak mungkin dapat menyenangkan semua pihak. Kami juga tidak mungkin dapat memenuhi harapan semua pihak. Saya tidak sempurna, saya manusia biasa. Kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT," imbuhnya. 

Namun, dalam pandangan sejumlah pakar, Jokowi tidak bisa cuci tangan dengan meminta maaf saja. Posisinya sebagai kepala negara dan pemerintahan, ia harus mempertanggung jawabkan semua program yang dianggap telah merugikan banyak rakyat. 

Editorial Team