Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
PLT Disdik DKI Budi Awalludin melakukan cleansing guru honorer. (dok. Humas Pemprov DKI Jakarta)
PLT Disdik DKI Budi Awalludin melakukan cleansing guru honorer. (dok. Humas Pemprov DKI Jakarta)

Intinya sih...

  • Fraksi PDI Perjuangan menolak kebijakan penataan dan pembersihan tenaga honorer, merugikan guru-guru yang telah berkontribusi besar dalam pendidikan.
  • Potensi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat terkait penghapusan tenaga honorer, UU 20 Tahun 2023 tentang ASN harus dipahami dengan baik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta menolak tegas kebijakan Pemprov DKI Jakarta terkait penataan dan pembersihan tenaga honorer, khususnya guru honorer.

Anggota Komisi E dari Fraksi PDI P Ima Mahdiah menilai, kebijakan ini merugikan guru-guru yang telah berkontribusi besar dalam dunia pendidikan. Ima juga khawatir keputusan itu mengganggu sistem pembelajaran di sekolah.

"Penataan tidak boleh dilakukan dengan cara yang merugikan guru-guru yang telah berkontribusi besar dalam pendidikan. Kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam karena masih banyak sekolah yang kekurangan guru dengan kualifikasi linear," ujar Ima dalam keterangan, Jumat (19/5/2024).

1. Pemprov gagal memahami amanat dari UU

Formulir pos pengaduan guru honorer terdampak cleansing (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Fraksi PDI Perjuangan juga menyoroti potensi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat terkait penghapusan tenaga honorer. 

Menurut Ima, kebijakan penataan tenaga honorer ini sebenarnya merupakan kebijakan yang awalnya dibuat pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal 66 UU tersebut mengharuskan seluruh instansi pemerintahan pusat maupun daerah melakukan penataan pegawai non-ASN dengan batas waktu hingga Desember 2024. 

"Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pegawai pemerintahan dengan mengakui hanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan ASN, bukan untuk melakukan pemecatan atau pun pembersihan (cleansing). Jadi menurut kami, Pemprov sudah gagal memahami apa amanat dari UU tersebut," lanjut Ima.

2. Proses rekrutmen guru honorer sudah salah

Konpers Pembukaan Pos Pengaduan Guru Honorer Korban Pemberhentian Disdik DKI Jakarta di Gedung LBH Jakarta, Jakpus, Rabu (17/7/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Ima mengatakan masalah ini juga terjadi karena ada salah kelola dari proses rekrutmen tenaga honorer pendidikan. Banyak guru honorer yang diangkat kepala sekolah tidak melalui mekanisme pengangkatan sesuai prosedur.

Pengangkatan tenaga honorer itu dipengaruh faktor subjektif dan seleksi yang tak sesuai ketentuan.

"Pengangkatan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan di sekolah dan tidak ada rekomendasi dari dinas pendidikan. Hal ini yang akhirnya menjadi temuan BPK," ujar Ima.

3. Fraksi PDI Perjuangan desak Pemprov DKI menata tenaga honorer perhatikan kesejahteraan

Guru honorer yang terancam dipecat. (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Selain itu, banyak guru honorer yang secara pengalaman sangat mumpuni tetapi tidak mendapatkan kuota atau sertifikasi untuk menjadi ASN atau PPPK karena harus bersaing dengan lulusan baru. Status guru honorer yang tidak tersertifikasi di beberapa bidang menjadi hambatan besar bagi mereka. 

"Mereka dipekerjakan oleh sekolah negeri karena terdaftar dalam data pokok pendidikan, meskipun tidak memiliki sertifikasi khusus yang diperlukan, seperti sertifikasi guru agama," imbuhnya.

Fraksi PDI Perjuangan mendesak Pemprov DKI Jakarta melakukan penataan tenaga honorer dengan bijak dan memperhatikan kesejahteraan guru yang telah lama mengabdi. Langkah ini diharapkan dapat menjaga kualitas pendidikan di Jakarta dan memberikan kepastian serta keadilan bagi para tenaga pendidik.

Editorial Team