Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Intinya sih...

  • Perlunya pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah

  • Tindakan kekerasan tidak dibenarkan dalam pendisiplinan siswa

  • Kepala sekolah yang melakukan kekerasan melanggar UU Perlindungan Anak pasal 76C

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 630 siswa SMAN 1 Cimarga di Kabupaten Lebak, Banten, melakukan aksi mogok sekolah pada Senin (13/10/2025). Tindakan itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kepala sekolah yang diduga menampar salah satu siswa setelah ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, mogok sekolah adalah hak anak untuk berpendapat, pilihan itu juga diatur lewat konstitusi.

"Pertama, hak anak untuk berpendapat, bersuara, partisipasi anak itu dilindungi lewat konstitusi Republik Indonesia. Juga dilindungi lewat undang-undang perlindungan anak, yang disebut sebagai partisipasi anak. Anak berhak berpendapat, berhak bersuara, dan dalam kasus ini, anak-anak itu pun melakukannya dengan sangat baik. Sesuai aturan, di mana mereka membentangkan spanduk, mereka melakukan mogok belajar. Itu hal yang sebenarnya adalah bentuk protes atau cara mereka berekspresi terkait sebuah kegiatan atau suatu kasus," kata dia kepada IDN Times, Selasa (14/10/2025).

1. Harusnya dibentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK)

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Dia mengatakan, tindakan diduga kekerasan yang dilakukan kepala sekolah seharusnya tak dibiarkan, meski alasannya adalah untuk pendisiplinan. Dia mengingatkan dalam menghadapi krisis kesiswaan, sekolah harusnya berpatok pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan ini juga mengatur pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap satuan pendidikan. 

"Nah, apakah sekolah ini punya? Tetapi ketika, ini kan pelakunya kepala sekolah, dalam Permendikutristek No. 46, ketika pelakunya guru sesama murid, itu bisa ditangani oleh tim PPK sekolah. Tapi ketika pelakunya kepala sekolah, maka yang harus menangani adalah tim Satgas Daerah," kata dia.

2. Tindakan kekerasan tidak dibenarkan

Tangkapan layar suasana SMAN 1 Cimarga, Banten. (instagram.com/mpk.osis_sman1cimarga).

Retno mengatakan, terkait kasus kekerasan itu sendiri tidak dibenarkan. Menurut dia, apapun pendisiplinan atas nama pendidikan dan upaya pendisiplinan, tidak boleh dilakukan dengan kekerasan.

"Di dalam Permendikutristek No. 46 ini ada ketentuan bagaimana kita memberi sanksi pada anak-anak," katanya.

3. Langgar UU Perlindungan Anak Pasal 76 C

ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia juga mengingatkan, mengedukasi anak bukan berarti anak tidak boleh diberi sanksi, namun sanksi yang diberikan itu haruslah bersifat edukatif, tidak melanggar peraturan perundangan yang lain.

"Kalau mukul ya pasti melanggar peraturan perundangan yang lain, yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak di Pasal 76C, gitu ya. Apapun alasannya, gitu. Nah, ini apa, tentu saja wajar kalau kemudian orang tuanya juga melaporkan, karena memang memungkinkan di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak," katanya.

Perlu diketahui, Pasal 76C UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Editorial Team