Kesaksian Lucia Fransisca Melawan Diskriminasi di Ujung Orde Baru

Buku Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran diluncurkan

Jakarta, IDN Times - Perlakuan diskriminasi pada masa orde baru sudah dialami Lucia Fransisca sejak kecil. Meski begitu, diskriminasi yang ia alami justru memantik pemikiran kritisnya.

"Mengapa etnis yang tidak bisa kupilih ini selalu dipermasalahkan? Mengapa apa yang meskinya menjadi ranah pribadi antara aku dan Tuhan jug dipermasalahkan?" tulis Lucia dalam buku Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran yang dikutip, Jumat (8/3/2024).

1. Kerap saksikan demonstrasi direpresi aparat

Kesaksian Lucia Fransisca Melawan Diskriminasi di Ujung Orde BaruTugu 12 Mei di depan Universitas Trisakti, Jakarta. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Lucia kerap menyaksikan demonstrasi di era Orde Baru yang berakhir dengan direpresi aparat lalu bungkam. Menyadari hal itu, ia terpicu untu melawan.

"Tapi bagaimana? Kala itu aku masih seorang mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berusaha menyelesaikan kuliah di Program Studi Ekonomi Pertanian dan SUmberdaya, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian," ujarnya.

Jalan melakukan perlawanan muncul ketika ia tengah mencari bahan untuk skripsinya di Wisma Serikat Jesuit, Depok, Jawa Barat. Ia menemukan berbagai berita konflik lahan petani dengan penguasa dan ada selebaran undangan aksi untuk berjuang bersama mereka.

"Hati ini langsung tergerak. Bersama seorang kawan dari Universitas Indonesia, kami pun berjuang bersama petani," ujarnya.

2. Aktif di PRD

Kesaksian Lucia Fransisca Melawan Diskriminasi di Ujung Orde Baruilustrasi demonstran (unsplash.com/Avel Chuklanov)

Perjuangan bersama petani itulah yang mempertemukannya dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia merasa tak didiskriminasi selama bersama PRD.

"Tidak ada diskriminasi, tidak diperlukan berbeda walaupun aku keturunan Tionghoa dan Katolik. Sungguh suatu kondisi yang kudampakan seumur hidup. Di Sini aku merasa benar-benar hidup," ujarnya.

Semenjak itu, Lucia jadi aktif ikut diskusi dan membaca berbagai buku pro kerakyatan. Contohnya adalah Tetralogi Pulau Buru karya Pramedya Ananta Toer dan Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire.

3. Belum pernah ditangkap saat aksi

Kesaksian Lucia Fransisca Melawan Diskriminasi di Ujung Orde BaruMassa mengakhiri demonstrasi dengan membakar spanduk, Rabu (21/2/2024). (IDN Times/Iglo Montana)

Aksi pertamanya bersama buruh berlangsung pada Juli 1995. Saat itu ia ikut memperjuangkan hak-hak pekerja PT Great River Internasional (GRI) yang menuntut kenaikan upah dan penurunan harga kebutuhuan pokok.

"Pemogokan ribuan buruh PT GRI itu melibatkan aliansi Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PBBI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dua underbow PRD," ujarnya.

Ia beruntung tak pernah ditangkap selama melakukan aksi. Namun, hal itu tak membuatnya merasa lega.

"Ada satu aksi berakhir represi yang membuatkut merasa bersalah sampai sekarang, yaitu saat gagal menyelamatkan seorang mahaiswa baru dari Bogor, Aris namanya," ujarnya.

Aris ditangkap ketika berdemonstarasi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap aktivis PRD yang ditangkap terkait peristiwa 27 Juli 1996.

4. Diskriminasi masih ada

Kesaksian Lucia Fransisca Melawan Diskriminasi di Ujung Orde Baru(IDN Times/Dini Sucihatiningrum)

Meski berusaha melawan diskriminasi, namun perbedaan khususnya pada perempuan tetap terjadi. Contohnya masalah kesetaraan perempuan dengan laki-laki saat mengorrganisir.

"Selain kendala dari dalam organisasi, kami sebagai perempuan menghadapi masyarakat patriarki dan pandangan yang misoginis terhadap perempuan. Contoh sederhana, kami tidak bisa bebas pulang terlalu malam," ujarnya.

Meski begitu, ia tetap bertahan bersama PRD. Sebab, ia merasa menemukan rasa percaya dan kolektivitas.

"BIsa dikatakan PRD adalah wadah para manusia yang memiliki komitmen dan visi untuk keadilan, hak asasi manusia, dan kesetaraan tanpa diskriminasi," ujanya.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya