Calon Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, saat debat capres kelima yang digelar di JCC, Minggu (4/2/0224). (youtube.com/tvOne Digital TV POOL)
Pada kesempatan sama, CEO dan Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, mengatakan perempuan dalam sektor kesehatan menjadi krusial. Meskipun 70 persen tenaga kesehatan adalah perempuan, hanya 10 persen yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
"Saya mau komentari soal topik perempuan dengan stunting, yang soal perempuan itu sangat penting bahwa dilihat dari kesehatan 70 persen dari keseluruhan nakes (tenaga kesehatan) kita adalah perempuan, tetapi hanya 10 persen yang sampai pada tingkat pengambilan keputusan di dunia kesehatan," kata dia.
Diah menyebut kesenjangan gaji gender di sektor kesehatan, yang menurut World Economic Forum masih memerlukan waktu 300 tahun untuk menyamakan bayaran antara perempuan dan laki-laki.
Kemudian, lanjut Diah, dalam konteks pandemik COVID-19, pentingnya perempuan dalam penanganannya juga jadi persoalan bagi negara. Sayangnya data seks terpisah belum sepenuhnya mendukung analisis dampaknya pada kematian COVUD-19 perempuan dan laki-laki.
"Kenapa perlindungan perempuan penting? Karena masuk kepada kelompok rentan, dalam keadaan dunia normal dengan ibu yang dalam kondisi melahirkan dan kemudian meninggal dan anaknya 40 persen lebih rentan untuk ikut meninggal bersama ibunya, apabila ibunya meninggal karena postpartum hemorrhage atau pendarahan pasca-melahirkan," kata dia.
Sayangnya, Diah menilai, isu-isu tersebut tidak dibahas dalam debat pamungkas ini. Padahal, kata dia, tiga capres bisa membahas rencana program satu fasilitas kesehatan (faskes), satu tenaga kesehatan (nakes), dan satu desa yang ada kaitannya dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang mandatory spending.
Ini adalah persentase kewajiban alokasi atau mandatory spending di sektor kesehatan, baik di APBN maupun APBD. Dalam undang-undang tersebut, kata Diah, terdapat aturan penghapusan angka persentase mandatory spending sebesar 5 persen untuk APBN dan 10 persen bagi APBD.
Program Ganjar itu, kata Diah, membutuhkan penegembalian aturan soal mandatory spending ke awal. Karena jika butuh tenaga kesehatan yang lebih banyak maka pengeluarannya akan lebih banyak juga.
“Itu membutuhkan dikembalikannya mandatory spending,” kata dia.
Menurut Diah, isu kesehatan jika dikaitkan dengan sektor keuangan kerap disebut sebagai sumur tanpa dasar atau mengambil uang saja.
“Karena sebenarnya terjadi perdebatan selalu antara sektor kesehatan dengan sektor keuangan, dimana argumen dari sektor keuangan selalu bilang bahwa kalau kesehatan itu sumur tanpa dasar, mengambil uang terus tetapi tidak pernah dari return of investment,” kata dia.
CISDI pernah mencatat masih ada 58 dari 514 kabupaten atau kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang pada 2021.
Diah mengatakan jika bicara kesejahteraan nakes dan pemerintah nantinya ingin membangun satu faskes di setiap desa, maka hal itu perlu investasi besar-besaran.