Jakarta, IDN Times - Salah satu fakta yang mencengangkan publik dari kisruh pembangunan pagar bambu di wilayah perairan Tangerang, Banten, yakni adanya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) di laut. Padahal, laut milik negara dan tak bisa dikavling seperti yang terjadi pada kasus pemagaran laut di Tangerang.
Menurut keterangan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), ada 263 bidang di laut yang sudah terbit SHGB. Sebanyak 234 HGB dimiliki perusahaan atas nama PT Intan Agro Makmur, 20 HGB dimiliki PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 HGB tercatat milik individu. Selain itu, ada pula 17 bidang tanah telah terbit Surat Hak Milik (SHM).
HGB merupakan hak yang diberikan kepada individu atau badan hukum, untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya. Artinya, kamu sebagai pemilik bangunan, tetapi tanahnya tetap milik negara atau pihak lain.
Hak di dalam HGB biasanya dibatasi jangka waktu 30 tahun, dan bisa diperpanjang lagi hingga 20 tahun. Developer perumahan atau apartemen yang kerap menggunakan HGB untuk membangun properti di atas lahan yang tidak mereka miliki.
Sedangkan, Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah bentuk kepemilikan tertinggi atas tanah dan bangunan di Tanah Air. Bila sudah mengantongi SHM, artinya pemilik sertifikat memiliki hak penuh atas tanah dan bangunan tersebut tanpa batasan waktu.
Kepastian tak boleh terbitnya HGB di wilayah perairan disampaikan Wakil Menteri ATR, Ossy Dermawan. "Tidak lazim dan tidak boleh laut disertifikatkan. Tapi, ada beberapa case yang mungkin, bila dulu daratan lalu mengalami abrasi sehingga tanah itu hilang. Itu faktor dari alam," ujar Ossy kepada media di Jakarta, kemarin.
Namun, bila ditelusuri sejak dulu tidak ada perubahan kondisi dan merupakan lautan, maka SHGB yang terbit cacat prosedur, materiil dan hukum. Apa saja aturan yang dilanggar karena SHGB tetap diterbitkan? Siapa saja pihak yang harus dimintai pertanggung jawaban?