Sikap pemerintah Jepang yang tidak mengakui tragedi kemanusiaan ini berimbas pada hubungan diplomatik antara Jepang dengan negara-negara Asia lainnya. Sebagai contoh, hubungan Korea Selatan dan Jepang yang naik turun oleh sebab kasus ianfu ini. Tawaran Jepang tentang uang ganti rugi dalam jumlah besar pada tahun 2015 lalu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Korea Selatan. Bagi mereka uang tak bisa menghapus luka trauma para perempuan malang itu.
Publik Korea pun melakukan protes dengan membuat patung perunggu gadis Korea yang mengenakan pakaian tradisional sebagai simbol ianfu. Patung tersebut diletakkan persis di depan Kedutaan Jepang di Seoul dan Konsulat Jepang di Busan. Buntutnya, PM Jepang Shinzo Abe sempat menarik duta besarnya dari negeri itu.
Hal berbeda terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia terlihat tidak serius untuk mengungkap luka trauma dan berinisiatif menyelesaikan masalah dengan Jepang. “Faktor utama yang mempersulit Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban politik atas kasus perbudakan seks adalah daya tawar Jepang yang terlalu kuat, sebagai negara donor dan investor,” kata Eka Hindra, peneliti independen dan pembela hak-hak ianfu.
Di sisi lain, banyak masyarakat Indonesia yang masih buta sejarah perbudakan seks yang melecehkan martabat kaum perempuan bangsanya. Bahkan di Jepang sendiri, permasalahan ini tak pernah dimasukkan dalam pelajaran sejarah Jepang. Hingga sekarang generasi muda Jepang tak pernah tahu bahwa kakek-kakek mereka pernah melakukan kejahatan perang.
Walaupun demikian, para perempuan penyintas ini tetap menutut tiga hal, antara lain, permintaan maaf pemerintah Jepang secara langsung kepada korban yang masih hidup, pemberian kompensasi, dan pengakuan tragedi itu sebagai bagian dari sejarah ekspansi bangsa Jepang.
“Saya sudah kehilangan segalanya sejak remaja. Harus ada permintaan maaf dan pengakuan,” ujar Ngadirah menggugat.
Artikel ini merupakan hasil kerjasama dengan Rappler Indonesia | Ari Susanto