ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)
UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, permasalahan utama terdapat pada perumusan sanksi administrasi dan pidana yang kurang tepat.
UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, permasalahan utama terdapat pada berbagai ketentuan-ketentuan dasar yang sebelumnya didetailkan dalam Undang-Undang, kemudian dihapus dan diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah.
Di satu sisi, kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU karena tidak dapat memberikan sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.
Berkaitan dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, permasalahan utama adalah dilemahkannya posisi tata ruang sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Dalam UU Cipta Kerja, berbagai ketentuan dalam penataan ruang ‘dilonggarkan’ dengan tujuan untuk mengakomodasi kebijakan nasional yang bersifat strategis, yang mana lingkup kebijakan nasional yang bersifat strategis ini juga tidak dijelaskan.
Sementara itu, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, sekalipun telah mengakomodasi ketentuan tentang otonomi daerah yang sebelumnya dihapus dalam draf RUU Cipta Kerja versi 2009, namun permasalahan utama terdapat pada ketentuan terkait partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan.
Selain itu, pereduksian beberapa kewenangan DPR dan Pemerintah Daerah juga masih ditemukan. Dikhawatirkan hal ini akan berpengaruh kepada semangat transisi energi yang tengah digagas saat ini.
“Keenam kesimpulan ini menandakan bahwa UU Cipta Kerja dalam implementasinya berpotensi melemahkan instrumen perlindungan lingkungan hidup, hak-hak masyarakat dan juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup,” kutip jurnal ICEL.