Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Papua (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi Papua (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Penularan COVID-19 di daerah yang terpencil dengan akses fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan terbatas memicu kekhawatiran angka kematian tinggi. Tak terkecuali di daerah pedalaman Papua.

Ketua IDI Papua, dr Donald Arronggear, mengungkapkan permasalahan penanganan COVID-19 di Papua sangat kompleks. Bahkan, saat ini virus corona varian Delta (B.1617.2) sudah masuk di wilayah suku pedalaman Papua.

"Kita tahu varian Delta ini pertama kali masuknya di pusat (Jakarta), tetapi saat itu kan masih terbuka penerbangannya sampai ke daerah-daerah, termasuk ke Papua. Ya kondisi terakhir, kita lihat saat ini masuk ke Papua bahkan sudah ada di suku pedalaman dan wilayah terisolir di Papua, yang seharusnya tidak ada karena untuk ke daerah aksesnya hanya dengan penerbangan, tetapi sudah ada (kasus COVID)," ujar Donald saat dihubungi IDN Times, Rabu (11/8/2021) malam.

1. Penularan di daerah pedalaman bisa tidak terkendali

daily.co.uk

Dia khawatir penularan kasus COVID-19 di daerah pegunungan dan pedalaman di Papua tidak terkendali. Selain wilayah luas, satu rumah dengan rumah lain jaraknya juga jauh, sehingga tidak terpantau.

"Antara rumah satu dengan lain atau keluarga lain jauh-jauh, jika ada yang isoman atau meninggal tidak terpantau," imbuhnya.

2. Akses faskes dan medan berat jadi kendala

IDN Times/Lia Hutasoit

Dia menegaskan kondisi Papua jelas berbeda dengan Jawa, apalagi di Ibu Kota Jakarta. Secara geografis, fasilitas kesehatan, bahkan sumber daya manusia sangat terbatas.

Donald mengatakan, warga di pedalaman butuh berjam-jam, bahkan berhari-hari perjalanan untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit.

"Ada teman saya dokter di pedalamanan, nyawanya tidak tertolong karena untuk menjangkau rumah sakit butuh waktu delapan jam, itu dengan medan yang berat, ditambah lagi tidak ada ventilator saat itu. Jangan disamakan di Jakarta," ceritanya.

Di sisi lain, kata Donald, satu dokter bisa memegang beberapa wilayah Papua. Jadi jika dokter tersebut terkonfirmasi positif COVID-19, isoman atau meninggal, ia mengatakan faskes akan kewalaham. Selain itu, sampai saat ini belum ada rumah sakit yang besar sebagai rujukan atau sentral penanganan COVID-19.

3. Krisis oksigen buat rumah sakit menjerit

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menerima pengiriman 250 ton oksigen cair secara bertahap yang dibeli dari Sarawak, Malaysia dan diangkut dengan menggunakan ISO Tank milik PT Spectro Gas Industri untuk memenuhi kebutuhan oksigen di rumah sakit rujukan COVID-19 di Kalimantan Barat (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)

Masalah penting lainnya buat penanganan COVID-19 di Papua adalah kebutuhan oksigen. Donald mengakui angka penularan dan kematian naik drastis pascaLebaran hingga membuat rumah sakit kolaps.

Akibatnya, kata dia, banyak pasien COVID-19 yang tidak mendapatkan penanganan.

"Semua menjerit butuh oksigen. Di sini produksi oksigen terbatas, jangankan Wamena, di Jayapura sendiri cuma ada dua produsen untuk memenuhi lima rumah sakit di Jayapura saja. Pengiriman oksigen juga tidak semudah itu, jangan samakan dengan Jawa, sini masalahmya kompleks," imbuhnya.

Editorial Team