4 Kritikan Pakar Jelang Putusan PHPU Sengketa Pilpres 2024 di MK

Sidang Pendapat Rakyat kumpulkan pakar dan akademisi

Jakarta, IDN Times - Jelang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 22 April 2024, sejumlah akademisi mendesak agar majelis konstitusi lebih menelai isu dugaan kecurangan demokrasi dan pelanggaran etika politik yang melemahkan netralitas penyelenggaraan Pemilu 2024.

Mereka juga menyampaikan pandangan dan masukannya terkait keadilan Pemilu 2024, dalam acara Sidang Pendapat Rakyat yang digelar secara hybrid oleh Lembaga Hikmah dan Kebijaksanaan Publik Pimpinan Pusat (LHKP PP) Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 19 April 2024.

Baca Juga: MK Pastikan Proses dan Hasil RPH Sengketa Pilpres 2024 Tak Bocor

1. Sidang Pendapat Rakyat mengumpulkan pakar hukum dari Jakarta dan Jogja

4 Kritikan Pakar Jelang Putusan PHPU Sengketa Pilpres 2024 di MKSidang Pendapat Rakyat diikuti Mantan Ketua KPU Ramlan Surbakti (kanan), pemikir Kebhinekaan Dr. Sukidi (tengah), peneliti senior BRIN Prof. Siti Zuhro (kanan), dan Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto. (kiri)

Acara ini diikuti beberapa akademisi ternama di bidang hukum Indonesia dari Jakarta dan Yogyakarta. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2007 Prof. Dr. Ramlan Surbakti memimpin proses Sidang Pendapat Rakyat.

Ramlan mengatakan proses dan hasil pemilu tidak dapat dipisahkan. Keduanya perlu dipertimbangkan dengan baik dalam persidangan sengketa Pilpres 2024 oleh MK.

Menurut Surbakti, MK seharusnya mempertimbangkan juga pelanggaran etika dan prinsip yang memengaruhi netralitas Pemilu 2024. Dia menyebut MK seharusnya tidak hanya sebagai kalkulator penengah sengkata Pilpres 2024 yang menilai lewat hasil pemilu. 

"Misalnya, manipulasi pilihan pemilih dengan penggunaan anggaran negara atau publik untuk memberikan bansos sembako. Itu harus diperhitungkan juga," ujarnya.

Surbakti kemudian mempersilakan tokoh akademisi lain yang datang dalam Sidang Pendapat Rakyat untuk menyampaikan pemikirannya masing-masing.

2. Sidang sengketa Pemilu perlu pertimbangkan tiga unsur konstitusi

4 Kritikan Pakar Jelang Putusan PHPU Sengketa Pilpres 2024 di MKGuru Besar Antropologi Hukum UI, Prof. Sulistyowati mengungkapkan tiga pilar konstitusi MK

Sementara, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Profesor Sulistyowati Irianto, mengatakan proses sidang sengketa pemilu di MK tidak semata-mata untuk menyelesaikan permasalahan hasil pemilu. Namun, juga harus memenuhi tiga pilar konstitusi Indonesia.

Pertama, adalah pilar demokrasi. Menurut Sulistyowati, persidangan di MK harus berdasarkan hukum dan menghasilkan putusan yang jelas dapat dimengerti seluruh masyarakat.

Kedua, pilar berpihak pada masyarakat. Sulistyowati mengatakan dinamika analisis persidangan putusan MK tidak berdasarkan kehendak perorangan. Ketiga, Sulistyowati melanjutkan, pilar mekanisme kontrol.

Sulistyowati menegaskan persidangan di MK harus menghasilkan putusan yang jelas, sehingga dapat dimengerti seluruh masyarakat. MK juga harus menjadi guardian of constitution atau badan independen yang dapat memisahkan antara kekuasaan dan penegakan hukum.

"Hakim MK sebagai guardian punya kewenangan besar untuk memastikan meskipun langit runtuh, konstitusi Indonesia harus tetap tegak. Dengan masyarakat pada akhirnya akan tetap memercayai MK sebagai garda terakhir dalam mencari keadilan," ungkapnya.

Baca Juga: Titi Anggraeni: MK Tidak Akan Diskualifikasi Gibran

3. Politik cawe-cawe merusak demokrasi dan konstitusi Indonesia

4 Kritikan Pakar Jelang Putusan PHPU Sengketa Pilpres 2024 di MKProf. Sukidi pemikir kebhinekaan (idntimes/Iglo Montana)

Pada kesempatan sama, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Siti Zuhro dan pemikir Kebhinekaan Dr Sukidi berpandangan, akar masalah Pilpres 2024 sebenarnya sudah jelas. Yakni dugaan nepotisme dan dugaan intervensi politik cawe-cawe penyalahgunaan kekuasaan presiden.

Sukidi mencontohkan pernyataannya itu lewat utusan MK Nomor 90 Tahun 2023, yang melanggar UUD 1945 Pasal 9 dan UU Nomor 28 Ttahun 1999 terkait penyelenggaraan negara bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Menurut Sukidi, putusan MK tersebut merupakan praktik nepotisme vulgar dengan menyatakan calon presiden/wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

"Kata kuncinya sangat jelas, yaitu tetap memiliki kontrol kuasa atau kekuasaan. Ambisi ini yang membuat pemilu berjalan dengan bias, merusak norma dengan politik cawe-cawe," kata Siti Zuhro.

Baca Juga: Hakim MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres Senin 22 April, Pukul 09.00

Topik:

  • Sunariyah
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya