IDI: Kondisi Fasilitas Kesehatan Indonesia Sudah Kolaps 

Tapi IDI sebut Indonesia belum butuh dokter dari luar negeri

Jakarta, IDN Times - Ketua Tim Mitigasi Pergurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi menyebut, kondisi fasilitas kesehatan di Indonesia saat ini sudah berada dalam functional collapse atau kolaps secara fungsi.

Hal itu diungkapkan Adib dalam acara “Update Kondisi Dokter dan Strategi Upaya Mitigasi Risiko mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan” pada Minggu (18/7/2021).

Ia menyoroti kejadian di pelbagai daerah terkait fasilitas kesehatan yang semakin sulit diakses masyarakat. “Parameternya sudah jelas, jika ada penumpukan pasien di UGD sampai membuka tenda di rumah sakit, maka kondisi merupakan keterbatasan fasilitas tempat tidur,” ujar Adib. 

“Belum lagi ada problem kekurangan oksigen, kemudian masalah kebutuhan obat dan alat kesehatan. Kondisi ini yang saya kira functional collapse terjadi. Namun, kita tak bisa mengatakan secara general,” lanjutnya.

Baca Juga: 545 Dokter Gugur Akibat COVID-19, Terbanyak di Jawa Timur

1. Pemerintah daerah perlu lakukan pemetaan masalah dalam penanganan pandemik

IDI: Kondisi Fasilitas Kesehatan Indonesia Sudah Kolaps Tangkapan layar, Ketua Tim Mitigasi Pergurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi saat berbicara dalam acara "Update Kondisi Dokter dan Strategi Upaya Mitigasi Risiko mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan." (IDN Times/Ilyas Mujib).

Terkait kondisi ini, Adib menyarankan perlu ada mapping atau pemetaan masalah yang terjadi dalam penanganan pandemik COVID-19. Ia juga meminta pemerintah, terlebih di daerah, bisa menghitung pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatannya. 

Ia mencontohkan, beberapa pekan lalu kondisi di Kudus, Pati, hingga Rembang menghadapi penyebaran yang sangat besar, sehingga kondisi faskes keteteran. Namun, semua berangsur membaik.

Masalah baru muncul saat ini di Semarang, di laporkan terjadi overload fasilitas kesehatan. Tentu, ini harus dipetakan dengan baik oleh masing-masing daerah, sehingga wilayah satu bisa membantu yang lainnya.

“Pemerintah daerah harus mapping terkait kemampuan faskes. Seluruh komponen harus aktif mengukur supply dan demand tentang kebutuhan obat dll, sehingga nanti bisa berkoordinasi untuk melakukan penanganan lanjutan,” kata Adib.

2. IDI sebut Indonesia belum membutuhkan dokter dari luar negeri

IDI: Kondisi Fasilitas Kesehatan Indonesia Sudah Kolaps Tangkapan layar, Ketua Tim Mitigasi Pergurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi saat berbicara dalam acara "Update Kondisi Dokter dan Strategi Upaya Mitigasi Risiko mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan." (IDN Times/Ilyas Mujib).

Walau mengakui ada functional collapse dalam penanganan COVID-19, Adib menyatakan, Indonesia belum membutuhkan bantuan dokter atau nakes dari luar negeri. Ia menyiratkan, jika semua tenaga kesehatan, termasuk dokter hingga perawat yang ada di Indonesia masih cukup untuk melakukan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Sejauh ini kami masih mampu. Sebetulnya, hanya harus membuat pola pemberdayaan yang lebih baik saja, termasuk mapping tadi, serta menentukan kompetensi yang dibutuhkan di beberapa kondisi. Jadi mana yang butuh penanganan dokter umum hingga spesialis bisa sesuai,” bebernya.

Adib menyebut, pihaknya saat ini lebih membutuhkan fasilitas kesehatan, seperti obat-obatan, oksigen, dan alat kesehatan lainnya. Harapannya, masalah itu bisa dibantu oleh luar negeri.

3. Sebanyak 545 dokter gugur akibat COVID-19

IDI: Kondisi Fasilitas Kesehatan Indonesia Sudah Kolaps Ilustrasi tenaga medis COVID-19 saat mengenakan APD, termasuk masker. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Sebelumnya, Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melaporkan, sebanyak 545 dokter telah gugur akibat pandemik COVID-19 hingga 17 Juli 2021. Dari total jumlah kematian tersebut, dokter di wilayah Jawa Timur tercatat paling banyak yang gugur.

Dalam laporan tersebut, dokter laki-laki yang meninggal akibat virus corona jumlahnya jauh lebih banyak, yakni mencapai 84 persen. Hal itu terjadi lantaran jumlah persentase dokter laki-laki yang merawat pasien COVID-19 lebih besar ketimbang perempuan. 

Sementara, jika menilik berdasarkan spesialisasinya, dokter umum lebih banyak kehilangan nyawa akibat COVID-19. Setelah itu, disusul dokter spesialis obestetri dan ginekologi, spesialis penyakit dalam, spesialis anak, spesialis bedah, anestesi, hingga THT. 

Baca Juga: Viral, Dokter Paru Tolak Ventilator demi Pasien Lain di Akhir Hidupnya

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya