Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin Lahan

Kebijakan Jokowi di akhir periode dianggap blunder?

Jakarta, IDN Times - Debat calon presiden (capres) kedua akan dihelat, Minggu 17 Februari 2019 mendatang. Tema yang diusung dalam debat nanti mengenai energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur. Salah satu yang diprediksi bakal jadi sorotan dalam debat nanti adalah isu mengenai lingkungan hidup, khususnya masalah kebakaran hutan/lahan (karhutla) dan perizinan pembukaan lahan.

Sebagaimana diketahui, selama beberapa belas tahun terakhir, karhutla di Tanah Air sudah sampai pada tahap krisis lingkungan. Dampaknya, terjadi polusi yang membuat jutaan orang di Asia Tenggara terpapar kabut beracun, yang setara dengan tiga kali lipat emisi gas rumah kaca tahunan di Indonesia. Hal itu karena gambut yang terbakar banyak mengandung karbon dioksida.

Kebakaran lahan dan hutan sendiri terus berulang terjadi di Indonesia sejak dasawarsa 1990 hingga saat ini. Hal itu disebabkan oleh pelbagai masalah, mulai dari jor-joran izin di masa lalu, alih fungsi lahan gambut yang masih marak, lemahnya penegakan hukum, sampai ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.

Dalam masa pemerintahannya, Joko 'Jokowi' Widodo langsung dihadapkan pada berbagai pekerjaan rumah mengenai karhutla yang tak pernah tuntas, walau sudah beberapa kali pergantian tampuk kepemimpinan di Tanah Air. Sejak dulu fenomena tersebut seolah dianggap sebagai suatu yang lumrah dan biasa terjadi, bahkan di kalangan pengambil kebijakan.

Baca Juga: Jokowi vs Prabowo: Prioritaskan Ekonomi, Abaikan Lingkungan Hidup

1. Setahun memimpin, Jokowi hadapi masalah kebakaran hutan terburuk sejak dua dekade terakhir

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Mengukur hasil kerja yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan, di tahun pertamanya Jokowi boleh dibilang memberikan sesuatu yang baru. Sebab, ia bisa membuat kebijakan untuk menggabungkan badan dan kementerian menjadi satu kementerian besar, bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Namun, di saat pemerintahannya baru seumur jagung, Kementerian LHK dihadapkan masalah serius yang harus segera diselesaikan dengan tuntas. Sebab, pada 2015 terjadi kebakaran hutan yang cukup parah. Dilansir dari Global Forest Watch Fires, hal itu membuat sekitar 2,6 juta hektar lahan terbakar, dan jadi bencana kebakaran terburuk selama dua dekade terakhir.

Tercatat, ketika terjadi bencana kebakaran hutan besar-besaran tersebut, terdapat 21.929 titik panas di Indonesia. Total kerugian negara yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan di 2015 itu pun sangat besar, karena mencapai Rp200 triliun lebih.

Pemerintah pun merespons cepat. Melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MLHK), diterbitkan surat edaran Nomor 494/2015 yang ditujukan kepada pemegang konsesi untuk hentikan semua kegiatan pembukaan lahan gambut, serta kanal yang menyebabkan keringnya ekosistem gambut.

Selain itu, Menteri LHK melakukan gebrakan dengan menerbitkan Permen LHK Nomor P.77/2015, yang memuat pengambilalihan area terbakar di lahan konsesi oleh pemerintah. Hal itu dilakukan untuk merestorasi dan menjaga kelestarian hutan.

2. Jokowi digugat karena dianggap melanggar hukum

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanIDN Times/Sukma Shakti

Namun, setahun pascaterjadinya karhutla, Jokowi beserta jajarannya justru digugat oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat atas kebakaran parah yang terjadi pada 2015 lalu. Ia dilaporkan ke Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya dengan gugatan Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk.

Jokowi beserta Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah selaku pemangku kebijakan, dianggap gagal memberikan kepastian hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat kepada seluruh masyarakat Kalteng.

Gugatan tersebut akhirnya dikabulkan. PN Palangkaraya menyatakan para tergugat (Jokowi dan jajarannya) telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Tak terima dengan hal tersebut, pemerintah pun mengajukan kasasi. Namun hal itu sia-sia, Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya justru tak mengabulkannya.

"Mengadili, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 118/Pdt.G.LH/2016/PN.Plk tanggal 22 Maret 2017," tulis putusan tersebut yang dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung (MA). Semua tergugat pun wajib membayar biaya perkara dan merealisasikan 12 hukuman yang dberikan PN.

Apakah pemerintah sudah menyelesaikan hukuman tersebut?

"Klaimnya sudah diselesaikan, gugatan Citizens Law Suit (CLS) yang tuntutannya berupa kebijakan sudah diproses. Namun, di pengadilan itu tak bisa dihadirkan (bukit) oleh kuasa hukum mengenai Perpres dan Inpres yang dibuat," ujar Koordinator Desk Politik, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Khalisah Khalid kepada IDN Times.

Khalisa menambahkan, di tingkat daerah pun gugatan itu belum terselesaikan. Bahkan, kubu pemerintahan sempat melakukan penyangkalan. Seharusnya, lanjut dia, itu harus dipenuhi karena kalau negara dianggap bersalah, jangan merasa kedudukan negara jadi rendah.

"Padahal sebenarnya konteks hukumannya adalah policy (kebijakan). Harusnya itu jadi komitmen," sambungnya.

3. Pemerintahan Jokowi sempat membuat aturan normatif untuk menjaga lingkungan

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanInstagran.com/greenpeace

Sebetulnya, dalam rangka merealisasikan hukuman yang telah dijatuhkan, Jokowi memang berupaya menyelesaikannya. Dia membuat beberapa kebijakan, baik melalui Peraturan Presiden (perpres) atau Peraturan Pemerintah.

Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (perpres) Nomor 01 Tahun 2016. Di dalamnya mengatur tentang pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi areal gambut terbakar pada 2015. Ditambah, politisi PDI Perjuangan itu pun mencetuskan PP 57 Tahun 2016 tentang tata kelola gambut, yang dijadikan pondasi moratorium pemanfaatan lahan gambut.

Secara normatif, regulasi itu diperkuat dengan peraturan teknis yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Selain kebijakan di atas, era pemerintahan Jokowi juga telah melahirkan Permen LHK Nomor 14 dan Nomor 17 Tahun 2017. SOP pencegahan kahutla, hingga Permen LHK Nomor 9 Tahun 2018.

"Akan tetapi, pada realisasinya masih belum terlalu maksimal," terang Khalisa.

4. Jokowi dinilai serius dalam penanganan dan pelestarian lingkungan

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanIDN Times/Sukma Shakti

Aktivis lingkungan hidup yang juga merupakan CEO Belantara Foundation, Agus Sari, menilai belum ada satu presiden pun yang mengimplementasikan kebijakan lingkungan hidup seperti yang dilakukan Jokowi. Menurutnya, kebijakan Jokowi membuat angka kerusakan maupun kebakaran hutan di Indonesia terus berkurang.

"Kita lihat angkanya, kerusakan hutan sudah turun lebih dari 60 persen. Kemudian kebakaran hutan sudah berkurang 95 persen dari kejadian terparah tahun 2015. Hal itu dapat dilihat dari hasil penelitian World Resources Institute (WRI) --lembaga sumber daya dunia--," ujar anggota Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) itu melalui sambungan telepon.

Eks Deputi Bidang Operasional REDD+ era pemerintahan SBY itu juga mengapresiasi rezim sekarang, yang serius membawa penjahat lingkungan ke pengadilan. Bahkan, ia mengklaim banyak juga keputusan yang sudah inkrah. Total, Rp18 triliun bisa diraup atas hasil ganti rugi perusak hutan dan lahan gambut.

Khalida memang setuju dengan pernyataan Agus tersebut. Katanya, catatan itu relatif cukup baik karena secara penegakan hukum ada beberapa perusahaan yang bisa ditarik ke meja pengadilan. Namun, ada catatan kurang baik juga dari penegakan hukum tersebut karena sikap pemerintah dianggap masih kurang tegas.

"Hal itu tak diikuti eksekusinya meskipun kewenangan ada di PN masing-masing daerah. Harusnya pemerintah lebih aktif mengawasi eksekusi bisa berjalan," ujar Khalisa.

5. Secara implementasi, Jokowi masih dianggap tak maksimal

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanIDN Times/Sukma Shakti

Jika melihat presentasi data riwayat kebakaran melalui laman Global Forest Watch Fires, luas lahan dan hutan terbakar setiap tahun terus menurun. Teranyar, pada 2018 lalu persentasenya menurun jadi 92,5 persen dari total 2.661.411 hektar lahan yang terbakar di 2015 lalu.

Titik panas pun jumlahnya meyusut drastis sebanyak 81,5 persen dari tahun 2015 yang masih menunjukan 21.929 titik panas. Kini berdasarkan pantauan satelit NOAA dari GFWF jumlahnya menyusut tinggal 18 titik saja.

Sementara, berdasarkan data yang dilansir IDN Times dari SiPongi Karhutla Monitoring System melalui laman resmi Kementerian LHK, berdasarkan jumlah laporan dari daerah yang masuk tentang kebakaran, hasilnya sama dengan laporan GFWF, bahwa terjadi penurunan angka kebakaran.

Berdasarkan laporan awal di 2015, sebesar 261.060 hektar lahan yang terbakar. Kini  trennya terus menurun setiap tahun, menjadi 14.604 (2016), 11.127 (2017), 4.666 (2018).

Tren di atas menunjukkan, berpengaruh atau tidak kebijakan yang telah dibuat Jokowi, tetap ada perubahan cukup signifikan mengenai masalah karhutla.

"Buat kami itu perlu diapresiasi karena faktanya karhutla setiap tahun menurun, namun tak bisa dipungkiri hal itu juga terbantu dari berbagai macam faktor, salah satunya faktor cuaca," ungkap Khalisa.

Memang karhutla terus menurun dan sah-sah saja jika itu dijadikan sebuah capaian oleh pemerintah. Akan tetapi, ungkap Khalisa, ada pertanyaan yang muncul, apakah akar permasalah dari penyebab karhutla itu sudah terselesaikan? Karena jika belum, kekhawatiran publik akan potensi terjadinya kembali karhutla tetap besar.

6. Mekanisme perhutanan sosial ala Jokowi masih tersendat

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanSumber Gambar : wwf.or.id

Selain akar masalah penyebab karhutla yang masih dipertanyakan, Khalisa juga menyoroti salah satu kebijakan Jokowi mengenai mekanisme perhutanan sosial, yakni hutan yang bisa digarap oleh masyarakat sekitar yang masih tersendat.

Sebagaimana diketahui, Jokowi mengalokasikan lahan untuk perhutanan sosial sebanyak 12,7 juta hektar untuk bisa digarap masyarakat. Lalu, pengalokasian lahan tersebut juga sempat ditambah lagi 1,1 juta hektar, hingga totalnya berjumlah 13,8 juta hektar. Tak ayal, kebijakan itu memunculkan angin segar bagi orang-orang yang berada di sekitar hutan di pelosok negeri.

Namun, kata Khalisah, jika ditelisik lebih dalam lagi, kebijakan Jokowi tersebut ternyata belum maksimal dan masih jauh dari target yang dicanangkan. Menurutnya, kebijakan yang dikeluarkan itu linier dengan tata kelola sektor hutan dan reforma agraria di Indonesia.

"Alokasinya ternyata setelah berjalan turun menjadi 4 juta hektar. Dan realisasinya baru 2 juta hektar saja yang sudah digunakan," tutur dia. Hal itu dianggap Khalisa masih jauh dari cukup, karena target akselerasinya harus lebih cepat, terlebih masalah ini ada di masa terakhir periode kepemimpinan Jokowi.

"Jika 12,7 juta hektar saja bisa dipenuhi, itu akan menjawab kebutuhan 1/3 lahan yang dibutuhkan masyarakat," tuturnya.

Hal itu kata Khalisa sangat bagus, karena ia yakin pengelolaan lahan oleh masyarakat adat jauh lebih lestari jika dibandingkan dengan korporasi. Hal itu sudah dibuktikannya melalui riset.

7. Jokowi dianggap blunder karena lahirkan izin pelepasan kawasan hutan untuk industri sawit

Menilik Prestasi Jokowi Tuntaskan Kasus Kebakaran Hutan dan Izin LahanKebun sawit (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Sementara, khusus untuk industri sawit, Jokowi sebetulnya sudah membuat gebrakan bagus. Jokowi telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Hal itu dilakukannya saat bertepatan dengan peringatan Hari Hutan pada 14 April 2016 lalu.

Akan tetapi, dua tahun berselang atau tepatnya pada masa akhir periode pemerintahannya, Jokowi dianggap membuat sebuah blunder. Sebab, ia mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan untuk kebutuhan lahan sawit. Hal itu memantik tanggapan negatif dari beberapa pihak, karena dianggap bertolak belakang dengan program moratorium perluasan lahan yang sebelumnya dicanangkan.

Meskipun kebijakan yang dikeluarkan berjalan korektif, hal itu tak menjamin izin pelepasan sesuai dengan implementasi di lapangan. Khalisa beranggapan, harapan mengenai tata kelola sektor perkebunan sawit agar terus membaik pun seakan kembali menghadapi tantangan.

"Klaim mereka itu sesuai prosedur (masalah perizinan perluasan lahan sawit oleh korporasi), tapi fakta di lapangan jadi berbeda. Ini jadi preseden buruk di saat Inpres moratorium sudah dikeluarkan, justru mereka menerbitkan pelepasan kawasan hutan untuk sawit, terlebih ada perusahan yang membuka lahan pernah melakukan suap walau di luar area berbeda," tukasnya.

Lebih jauh, Khalisa berharap isu tentang lingkungan ini agar ditanggapi lebih serius oleh setiap pasangan calon presiden dalam pemilihan umum tahun ini. Ia tak ingin isu lingkungan jadi pelengkap saja dari setiap visi dan misi yang akan dijalankan presiden nantinya.

Menurut dia, setiap capres harus punya pandangan bagaimana meningkatkan kualitas lingkungan, dan ada turunan programnya untuk permasalahan lingkungan yang harusnya jadi prioritas di Indonesia. Sebab, Negeri Khatulistiwa ini dikenal rawan bencana lantaran dikelilingi cincin api (mayoritas bencana yang terjadi karena degradasi lingkungan).

Baca Juga: TKN Pamer Keberhasilan Jokowi di Bidang Lingkungan: Restorasi Citarum

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya