Rayakan Imlek, Warga Tionghoa Bangkitkan Tradisi Kuno yang Nyaris Punah

Oleh Fariz Fardianto
SEMARANG, Indonesia—Katrin Septina Saraswati henti-hentinya mengucapkan syukur saat menghadiri pembukaan perayaan Tahun Baru China 2569 di kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Senin malam 12 Februari 2018.
Bertempat di ruas Jalan Wotgandul, Katrin sapaan akrabnya mengaku cukup bahagia karena bisa berkumpul dengan ratusan warga peranakan Tionghoa lainnya untuk menyambut datangnya Imlek. Katrin berada ditengah kerumunan warga dalam acara Pasar Semawis.
Katrin mengatakan sudah mengikuti perayaan Imlek sejak empat tahun terakhir. Tiap Imlek ia manfaatkan sebagai ajang perjumpaan antara kerabat keluarganya maupun dengan masyarakat Tionghoa yang bermukim di Pecinan.
"Saya berharap Imlek tahun ini agar diberikan kesejahteraan dan lebih diberi kesuksesan dibanding tahun sebelumnya," ungkap wanita berusia 46 tahun itu kepada Rappler.
Ia memaknai Imlek sebagai pertemuan tanpa sekat dan tanpa memandang latar belakang agama maupun golongan. Katrin yang beragama Islam mengaku tak pandang bulu dalam menjalin keakraban bersama warga lainnya.
Bahkan, ia mengaku mendapat sajian istimewa saat mengikuti rangkaian makan bersama dalam tradisi Tok Panjang.
"Acara Tok Panjang selalu saya ikuti saban tahun. Karena selain menyuguhkan menu yang berbeda, juga nuansa keakraban dan kebersamaannya sangat terasa," katanya.
Tok Panjang
Saat Tok Panjang berlangsung, Katrin mencicipi salad kebahagiaan. Itu menjadi menu yang ia tunggu-tunggu sejak lama, katanya.
"Salad kebahagiaan terbuat dari aneka ragam sayuran yang diiris tipis-tipis, ada lobak, wortel dan masih banyak lagi. Enak sekali dan patut dicoba," imbuhnya.
Dalam gelaran Tok Panjang kali ini, ratusan warga tumplek-blek duduk berhadapan di satu meja panjang untuk menyantap delapan menu utama khas Pecinan Semarang.
Menurut Ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Harjanto Halim ada 80 masakan khas Pecinan yang bisa dicicipi para pengunjung selama Pasar Semawis berlangsung mulai 12-16 Februari.
"Tok Panjang menjadi simbol kebersamaan, serawungan sekaligus silaturahim. Keluarga-keluarga berdatangan untuk makan bersama dalam satu meja untuk melestarikan tradisi yang berjalan selama ini," terangnya.
Ia ingin menunjukan bahwa Tok Panjang yang selama ini lebih dikenal sebagai tradisi para orang tua, bisa dinikmati pula oleh anak muda.
Dengan cara seperti itu, bisa dibuktikan jika multikultural yang muncul di Semarang berkembang dengan cukup baik dan jadi contoh bagi kota-kota lainnya di Indonesia. "Buktinya warga Pecinan bersama komunitas lintas agama makan bareng tanpa ada sekat apapun."
Dengan menggali menu-menu kuno macam salad kebersamaan, dimsum tahun baru, Harjanto ingin mengenalkan kembali kekayaan budaya Tionghoa yang nyaris hilang.
Makna budaya China yang telah hilang kembali dimunculkan dihadapan masyarakat luas. "Salah satunya daun tebu sebagai penanda acara Imlek di sini punya makna mendalam bahwa dari daunnya yang semakin panjang dan menjuntai kebawah ada filosofi harus saling dekat dengan akar masyarakat supaya hidup jadi lebih harmonis," sambungnya.
Ekonomi serba sulit
Namun, Imlek tahun ini rupanya membuat masyarakat Thionghoa setempat pesimistis menghadapi peruntungan di dunia usaha.
Juminto, seorang jemaat Klenteng Panca Dharma Sinar Samudera berpendapat untuk Imlek kali ini menjadi ujian terberat bagi warga Thionghoa. Sebab, selain kondisi ekonomi nasional yang semakin kacau, ia merasa nuansa Imlek cenderung sepi akibat melonjaknya harga semua kebutuhan pokok.
"Kondisi itu sangat mempengaruhi penjual makanan yang ada di Semawis. Sangat sepi dan serba sulit. Jalan satu-satunya ya kita harus tetap tekun berusaha sambil bersabar dan ikhlas menerima situasi yang sedang sulit saat ini," akunya.
Wayang Potehi
Sedangkan, Harjanto menambahkan pada perayaan Imlek kali ini, panitia acara ikut menyuguhkan ragam atraksi khas Tionghoa mulai pertunjukan barongsai, pemasangan ribuan lampion sejauh 10 kilometer sampai pertunjukan wayang potehi.
"Wayang potehi salah satu pertunjukan yang ditunggu banyak orang. Sebab potehi kini nyaris punah. Saya sendiri memainkan potehi untuk meneruskan tradisi turun-temurun dari almarhum ayah saya," sahut Thio Haouw Lie, pewaris terakhir wayang potehi di Semarang.
Lakon yang ia mainkan malam itu adalah Fu Xin Hiok. Diceritakan bila Fu Xin Hiok seorang bocah shaolin yang begitu gigih mempertahankan martabat negaranya. Lakon tersebut sering dimainkan ayahnya semasa hidup.
"Favorit mendiang ayah saya ya lakon Jenderal Yang dan Fu Xin Hiok," kata Thio.
—Rappler.com