Kisah Inspiratif: Gadis Muda Ini Melawan Ancaman Rabies di Sorong

Penyakit rabies masih menjadi ancaman serius di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Rabies atau penyakit anjing gila masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Sebab, virus yang ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan (anjing, kucing, dan kera) itu amat mematikan. 

Penderita yang terserang rabies biasanya mengalami demam, napsu makan menurun, lemah, insomnia, sakit kepala hebat, gelisah, ketakutan berlebihan pada air, angin, suara, bahkan berhalusinasi. Parahnya, gejala tersebut rata-rata baru muncul 2-3 bulan setelah gigitan.

Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan beberapa daerah yang terbebas dari rabies, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Pulau Weh (Aceh), Pulau Mentawai (Sumatera Barat), Pulau Enggano (Bengkulu), Pulau Meranti (Riau), dan Pulau Pisang (Lampung).

Tinggal di daerah yang bebas dari rabies tak serta-merta terjamin aman. Sebab, langkah-langkah pencegahan tetap harus dilakukan. Ancaman rabies bisa saja datang dari daerah-daerah yang masih terjangkit virus rabies.  Hal itulah yang dirasakan oleh drh Kristiyani Dwi Marsiwi, seorang gadis muda yang mengabdikan dirinya sebagai dokter hewan karantina di Sorong, Papua Barat. Kepada IDN Times, perempuan yang akrab disapa Kris tersebut membagikan pengalamannya dalam mencegah virus rabies di Sorong.

1. Ada indikasi pemasukan hewan ilegal ke Papua Barat

Kisah Inspiratif: Gadis Muda Ini Melawan Ancaman Rabies di SorongDok. IDN Times

Bersentuhan dengan hewan penular rabies (HPR) bukanlah hal baru bagi Kris. Sejak diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan ditempatkan di Sorong, menangani berbagai jenis anjing jadi aktivitas sehari-hari. Berbeda dengan daerah kelahirannya di Yogyakarta, jumlah anjing yang dia temui di Sorong jauh lebih banyak dan beragam. Kendati Papua Barat termasuk daerah yang bebas rabies, tindakan preventif tetap harus dilakukan.

“Apalagi kerjaanku, kan, sebagai dokter hewan karantina. Misinya itu memang mencegah masuk, keluar, maupun tersebarnya hama penyakit hewan karantina (HPHK) dari dan ke luar daerah (domestik) maupun internasional,” ujar Kris melalui pesan tertulis, baru-baru ini.

Selama tinggal di Sorong, lanjut dia, belum pernah ditemukan kasus manusia tergigit anjing yang terdeteksi rabies.  Secara historis, Papua dan Papua Barat memang belum pernah termasuki rabies. Namun demikian, terdapat Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 25 Tahun 2015 tentang Larangan Masuk HPR ke Papua Barat.

“Anjing yang termasuk HPR diizinkan masuk apabila anjing tersebut anjing organik, misal anjing pelacak atau anjing terampil (K9 Unit). Namun, makin ke sini makin waspada juga karena Papua Barat bisa menjadi wilayah yang terancam rabies akibat pemasukan hewan ilegal melalui jalur-jalur tikus atau penyelundupan. Anjing-anjing ini kemungkinan untuk kebutuhan konsumsi  seperti rintek wuuk (RW), sengsu, atau jamu,” ungkapnya.

Baca Juga: 10 Pelajaran Tentang Hidup dan Kasih Sayang Dari Seekor Anjing

2. Tim karantina pertanian dua kali menolak anjing ilegal masuk wilayah Sorong

Kisah Inspiratif: Gadis Muda Ini Melawan Ancaman Rabies di SorongDok. IDN Times

Kris menjelaskan, masyarakat Sorong pada umumnya sudah paham bahwa apabila akan melalulintaskan komoditas baik hewan hidup, bahan asal hewan, produk hewan, harus melapor ke bagian karantina. Pintu utama khususnya ada di Bandara Domine Eduard Osok dan Pelabuhan Laut Sorong.

“Lalu lintas lewat bandara dan pelabuhan itu rutin, ya. Jadi komoditas keluar-masuk pasti diawasi. Hanya kapal dan maskapai tertentu saja yang boleh mengangkut hewan hidup,” ujar perempuan berkacamata tersebut.

Sekitar bulan Februari 2018, Kris menemukan anjing yang masuk lewat pelabuhan. Kendati ada penerimanya, hewan tersebut tidak dilengkapi surat, dokumen karantina, maupun rekomendasi.

“Ya jelas gak ada. Papua Barat gak akan menerbitkan itu karena ada Pergub 25/2015 tadi. Yang menangkap itu posisi di dermaga. Anjingnya kami tahan, penerima kami panggil ke kantor untuk dimintai keterangan berita acara pemeriksaan (BAP),” kenang Kris.

Pihaknya lantas memberikan penjelasan bahwa ada larangan memasukkan anjing selain anjing organik. Pemilik anjing pun mengerti. Cukup lama dia mengurus permasalahan tersebut. Anjing miliknya pun harus ditahan sebulan lebih. Kemudian, anjing itu pun dikembalikan ke Manado via bandara.

Kali kedua, bulan Agustus 2018, terdapat anjing golden retriever masuk via cargo bandara dari salah satu kota. Lagi-lagi tanpa dokumen jelas. Seperti kasus sebelumnya, anjing pun ditahan dan tak boleh diambil. Pemilik harus mengurus penolakan anjingnya ke daerah asal pada hari itu juga.

“Ya biasanya sudah tahu HPR dilarang masuk Papua Barat, tapi ada pihak yang suka coba-coba, kali aja berhasil. Padahal semua otoritas bandara dan karantina seluruh Indonesia sudah tahu HPR gak boleh masuk wilayah ini. Setiap pelanggaran tentu akan ditindak. Ini sebagai wujud komitmen daerah dalam mencegah masuknya penyakit dari luar,” ungkapnya.

3. Rutin menyelenggarakan sosialisasi dan kampanye bebas rabies

Kisah Inspiratif: Gadis Muda Ini Melawan Ancaman Rabies di SorongDok. IDN Times

Selain melakukan upaya pencegahan dari pintu masuk bandara dan pelabuhan, lanjut Kris, pemerintah daerah melalui Dinas Peternakan dan Karantina Pertanian Sorong juga aktif melakukan Kampanye 'Ayo Kita Jaga Papua Barat Tetap Bebas Rabies'. Mereka berupaya melakukan sosialisasi ke masyarakat, pengawasan di pintu-pintu karantina, maupun penindakan apabila ditemukan ada pelanggaran di lapangan.

“Sebagai dokter hewan karantina, dasar dalam setiap tindakan kami adalah peraturan. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga kebijakan daerah, adalah dasar kami untuk bisa meloloskan komoditas masuk maupun keluar.  Apalagi dalam hal pemasukan HPR ke Papua Barat via Sorong. Haram hukumnya,” tandas Kris.

Namun demikian, upaya sosialisasi tersebut kerap terkendala masalah geografis. Mereka sulit menjangkau masyarakat pulau maupun masyarakat yang baru pertama kali akan mengirim komoditas.

Dalam hal pengawasan di lapangan, kata Kris, dia tidak berjaga sendirian. Ada otoritas bandara dan pelabuhan, TNI Polri, Pelindo, Pelni, Avsec, Karantina Kesehatan, dan Karantina Ikan.

“Nah, kepada sesama petugas inilah kita di lapangan harus menjaga silaturahmi, khususnya mensosialisasikan apabila ada informasi baru. Dalam menyambut Hari Rabies pada 28 September nanti, kami di Karantina Kesehatan memiliki agenda sosialisasi di masing-masing wilayah kerja,” kata dia.

Menurut Kris, upaya tersebut adalah salah satu langkah preventif agar semua patuh karantina. Selain itu, peran aktif masyarakat dan ketegasan petugas menjadi kunci terjaganya wilayah Papua Barat untuk tetap bebas rabies.

Kisah Inspiratif: Gadis Muda Ini Melawan Ancaman Rabies di SorongIDN Times/Sukma Shakti

4. Rabies dapat dicegah dengan vaksinasi

Kisah Inspiratif: Gadis Muda Ini Melawan Ancaman Rabies di SorongDok. IDN Times

Peran kerja sama lintas sektor sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dan pengendalian rabies. Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Elizabeth Jane Soepardi, rabies dapat dicegah melalui vaksinasi secara teratur. Tak hanya hewan peliharaan, manusia yang telah digigit anjing pun perlu divaksin agar tak terkena rabies.

“Kalau kena gigitan, segera cuci luka gigitan menggunakan air mengalir selama 15 menit. Selain itu, segera lapor ke puskesmas atau pelayanan kesehatan lain untuk penanganan lebih lanjut,” kata Jane dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan pada 23 Agustus 2018 lalu.

Dia melanjutkan, masa inkubasi manusia setelah digigit anjing cukup lama, yakni 2 minggu sampai 2 tahun. Apabila sudah muncul gejala dan tanda rabies dan tidak segera ditangani, akan terjadi kematian (case fatality rate 100%). Selain berhalusinasi, penderita bisa mengamuk dan menggonggong layaknya anjing.

“Itu disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus. Dalam bahasa Yunani, Lyssa berarti mengamuk atau marah. Nah, penyakit rabies ini sifatnya akut serta menyerang susunan syaraf pusat, hewan berdarah panas, juga manusia,” ujar dia.

Berdasarkan data dari World Health Organization(WHO) 2013, sekitar 55.000 orang meninggal karena rabies, 95 persen terjadi di Asia dan Afrika.  Sekitar 60 persen penderita adalah anak-anak usia di bawah 15 tahun.

Agar kasus rabies tak semakin bertambah, yuk guys kita mulai dengan aktif memvaksin hewan peliharaan!

Baca Juga: Mengenal Lebih Jelas Penyakit Rabies yang Bukan Hanya dari Anjing

Topik:

  • Dwi Agustiar
  • Dwifantya Aquina
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya