Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien 

Keputusan itu dinilai bertentangan dengan Peraturan Presiden

Jakarta, IDN Times - Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kembali menuai sorotan publik paska Kementerian Kesehatan mengeluarkan obat kanker kolorektal (kanker usus), yakni bevacizumab dan cetuximab dari formularium nasional (fornas) per 1 Maret 2019.

Hal itu tertera dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018 (merevisi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017).

"Ini artinya, kedua obat kanker tersebut per 1 Maret 2019 tak lagi dijamin program JKN," ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (20/2).

1. Keputusan Menkes bertentangan dengan Peraturan Presiden

Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien bpjs-kesehatan.go.id

Timboel menjelaskan Keputusan Menkes tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 UU SJSN jo. Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 yang memasukkan obat sebagai salah satu tanggungan program JKN. Menurut dia, proses pembuatan Keputusan Menkes tidak melibatkan stakeholder JKN.

"Akibatnya keputusan itu menuai banyak protes dari Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), BPJS Watch, hingga Komunitas Penyintas Kanker," kata Timboel.

Baca Juga: Cari Tahu Alasan Pekan Depan TK2D Kutim Sudah Harus Terdaftar di BPJS

2. Keputusan Menkes merugikan para penyintas kanker

Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Menurut Timboel, Keputusan Menkes merugikan peserta JKN penyintas kanker. Mereka akan kesulitan memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup.

"Ini berkaitan dengan nyawa dan hak hidup orang. Gak hanya pasien JKN, Keputusan Menkes ini akan membatasi kalangan dokter dalam memberikan obat sesuai indikasi medis," jelasnya.

3. Defisit program JKN tak boleh dijadikan alasan

Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Timboel meyakini Keputusan Menkes dibuat untuk mengendalikan defisit program JKN. Padahal, mengacu data DJS BPJS Kesehatan, pembiayaan kanker relatif kecil dari total biaya INA CBGs.

Jumlah kasus kanker yang dibiayai JKN per Januari-Desember 2018 sebesar 1.990.091 dengan total biaya Rp2,9 triliun atau 3,35 persen dari total biaya INA CBGs sebesar Rp86,43 triliun.

"Pemerintah belum mampu mencari solusi atas masalah defisit ini tanpa menurunkan manfaat pelayanan kesehatan," kata Timboel.

4. Pemerintah diminta mencabut Keputusan Menteri

Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien ANTARA FOTO/Didik Suhartono

BPJS Watch meminta pemerintah mencabut Keputusan Menteri dan kembali memasukkan kedua jenis obat kanker dalam fornas. Selain itu, seluruh proses pembuatan regulasi JKN harus disesuaikan dengan ketentuan UU yang berlaku seperti UU SJSN, UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU RS, UU BPJS, melakukan uji publik, serta mensosialisasikannya sebelum aturan diberlakukan.

"Kami meminta pemerintah menghentikan pembuatan regulasi yang menurunkan manfaat pelayanan kesehatan," kata Timboel.

5. Obat kanker kembali dikeluarkan dari fomularium nasional

Obat Kanker Dihapus dari Fornas, BPJS Watch: Tidak Memihak Pasien hellosehat.com

Semula, obat kanker bevacizumab digunakan untuk kanker kolorektal metastatik dengan peresepan maksimal 12 kali. Kini, obat kanker tersebut dikeluarkan dari fornas.

Sementara, obat kanker cetuximab digunakan untuk kanker kolorektal metastatik dengan hasil pemeriksaan KRAS wild type positif (normal). Selain itu, sebagai terapi lini kedua kanker kepala dan leher jenis squamous yang bukan nasofaring dan dikombinasi dengan kemoterapi atau radiasi. Pemberiannya dilakukan setiap minggu dengan dosis 400 mg/m2, dosis selanjutnya adalah 250 mg/m2 setiap minggu, dan maksimal 12 siklus.

Dalam kebijakan baru, obat kanker cetuximab diberikan sebagai terapi lini kedua kanker kepala dan leher jenis squamous dan dikombinasi dengan kemoterapi atau radiasi. Selain itu, tidak digunakan untuk kanker nasofaring. Pemberiannya dilakukan setiap minggu dengan dosis pertama 400 mg/m2, dosis selanjutnya 250 mg/m2 setiap minggu, dan maksimal enam siklus atau sampai terjadi progres atau timbul efek samping tidak dapat ditoleransi.

Baca Juga: Inilah 5 Fakta Perihal Kanker Darah yang Harus Kamu Tahu

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya