Pengamat Terorisme: Pawai Anak TK Probolinggo Jangan Dianggap Remeh

Anak-anak masuk dalam spektrum kekerasan

Jakarta, IDN Times - Baru-baru ini, warganet dihebohkan oleh sebuah tayangan video pawai anak-anak TK di Kota Probolinggo. Dalam tayangan, tampak sejumlah anak berpakaian serba hitam dan bercadar. Masing-masing anak juga membawa senjata replika warna hitam.

Setelah ditelusuri, ternyata mereka adalah siswi-siswi TK Kartika 569 di bawah binaan Kodim 0820 Probolinggo. Konon, apa yang dilakukan anak-anak ini tidak bermaksud apa-apa. Hanya untuk menghemat biaya kostum karnaval dalam rangka Hari Kemerdekaan itu.

"Sesederhana itukah? Tentu saja tidak. Ini sangat mengejutkan. Bukan semata karena tampilannya. Ini soal betapa anak-anak kita ternyata sudah terlalu jauh masuk dalam spektrum kekerasan," ujar Pengamat Terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSeS) Khairul Fahmi dalam pesan tertulis kepada IDN Times, Minggu (19/8).

1. Replika senjata kenalkan kekerasan pada anak

Pengamat Terorisme: Pawai Anak TK Probolinggo Jangan Dianggap RemehFacebook

Fahmi menyebut, penggunaan replika senjata sebagai alat peraga edukasi (bahkan di lingkungan yang getol mengkampanyekan bahayanya paham kekerasan ekstrem atau violent extremism dan terorisme), menunjukkan kita sudah lama sangat permisif terhadap upaya pengenalan kekerasan pada anak-anak.

Di Indonesia, pelibatan anak-anak sebagai pelaku langsung dalam tindak kekerasan ekstrem memang merupakan hal baru.

"Apakah anak-anak ikut dilibatkan dalam jaringan dan aksi terkait paham kekerasan ekstrem karena mudah untuk didoktrin dan dilatih? Tepatnya, mereka lebih mudah dimanipulasi. Apalagi jika orangtua, terutama ibunya juga terlibat. Akan sangat mudah," ujarnya.

2. Tumbuh kembang anak bergantung pada pola asuh orangtua

Pengamat Terorisme: Pawai Anak TK Probolinggo Jangan Dianggap RemehIlustrasi wanita memakai niqab atau cadar (Pixabay)

Menurut Fahmi, anak-anak sangat terpengaruh oleh bimbingan dan asuhan orangtuanya. Potensi mengikuti jejak orangtua setelah dewasa mungkin besar, tapi tentu saja itu juga bergantung pada perkembangan pola pikir dan pengalaman mereka hingga usia dewasa nanti.

Sekolah, guru dan lingkungan pergaulan masih sangat berpeluang mengubah mereka.

Kini tercatat tujuh orang anak pelaku terorisme berada di safe house untuk dilindungi dan diikutsertakan ke dalam program deradikalisasi.

"Apakah anak-anak itu dapat kembali menjadi seperti pada umumnya yang tidak memiliki paham radikal? Saya menolak penggunaan istilah radikal atau radikalisme yang tidak tepat. Dan yang harus hilang dari benak anak-anak ini adalah paham kekerasan ekstrem dan kedangkalan pikiran atau banalitas kekerasan, bukan kemampuan untuk menalar atau berpikir mendalam," ungkapnya.

3. Relasi sosial dan peran aparatur daerah harus diperhatikan

Pengamat Terorisme: Pawai Anak TK Probolinggo Jangan Dianggap RemehANTARA FOTO/Galih Pradipta

Jika mereka sudah melalui program itu, hal yang harus diperhatikan agar mereka tak kembali berpaham radikal adalah pergaulannya di sekolah dan relasi sosial di lingkungannya. Sebab, di sana yang paling mudah tampak.

"Kita lihat contoh di Surabaya, salah seorang anak pelaku teror ternyata selama ini di sekolahnya bahkan menolak ikut upacara bendera. Namun, para guru agaknya tak menganggap itu sebagai suatu hal yang perlu dicermati," kata Fahmi.

Dengan demikian, masyarakat jelas turut berperan besar agar anak-anak itu tidak kembali memiliki paham tersebut. Anak-anak sangat tergantung juga pada pengalaman sosialnya. Jika mereka dikucilkan atau mendapat perlakuan diskriminatif, bukan tidak mungkin kebencian, kedangkalan dan paham kekerasan ekstrem mereka malah lebih kuat daripada orangtuanya atau siapapun yang menularkannya.

Untuk menyadarkan masyarakat akan hal itu, hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah memulainya dengan menjadi contoh bagaimana memperlakukan segenap lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Tidak memupuk kebencian, meminimalisir kesenjangan (disparitas) paling tidak dalam praktik-praktik layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan maupun aktivitas perekonomian.

4. Aparatur daerah jangan anggap remeh

Pengamat Terorisme: Pawai Anak TK Probolinggo Jangan Dianggap RemehGaris polisi (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Sementara itu, lanjut Fahmi, kualitas hidup di satu wilayah ditandai dengan kenyamanan warganya. Selain sanitasi dan potensi bencana alam maupun non-alam, ketidaktertiban sosial juga menjadi alat ukurnya yang utama.

Fahmi menilai, aparatur daerah dan kepolisian nyaris tak punya pemahaman sosio-kultural yang cukup untuk memfasilitasi disepakatinya ambang batas ketidaktertiban sosial di satu wilayah.

Akhirnya, kembali pada persoalan karnaval di Probolinggo itu, patut diingatkan agar aparat daerah termasuk polisinya tidak menganggap remeh.

"Ingat, siapa pun yang berada dalam spektrum kekerasan akan selalu berpotensi terpapar. Jika tidak menjadi pelaku, maka ia berpeluang menjadi korban. Bahkan anak-anak kita!" kata Fahmi. 

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya