Perbandingan UU baru TNI dengan UU TNI tahun 2004 pasal 7. (Dokumen UU TNI)
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina mencatat sejak awal draf RUU TNI berseliweran, ada tujuh pasal yang berubah di UU baru TNI. Salah satunya adalah pasal 7 yang menyangkut tugas pokok TNI.
Di UU lama yang disahkan pada 2004 poin b yang menyangkut Operasi Militer Selain Perang (OMSP), tugas TNI ada 14. Sedangkan, di dalam UU baru yang disahkan pada 2025, tugas TNI selain perang menjadi 16. Dua tugas tambahannya yakni membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Perubahan lainnya di dalam UU baru TNI pasal 7 ada di ayat 4. Di dalam UU lama tertulis tugas TNI yang menyangkut berperang atau di luar perang, membutuhkan keputusan politik. Dalam hal ini keputusan itu baru dapat diambil dengan persetujuan pemerintah dan DPR.
Sedangkan, di dalam UU baru, tugas TNI di luar berperang tak lagi perlu kebijakan dan keputusan politik negara. Artinya, presiden bisa langsung mengerahkan prajurit TNI di luar tugas berperang tanpa perlu ada persetujuan dari parlemen.
Menurut Gina, ketiadaan persetujuan dari parlemen dalam hal pengerahan prajurit TNI dianggap menghilangkan kontrol warga sipil. "Karena pengerahan tentara untuk tugas militer selain perang kan tetap butuh kontrol sipil. Karena dia kan gak bisa sembarangan ya. Dia (prajurit TNI) terbiasa pegang senjata untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga butuh kontrol sipil," ujar Gina melalui pesan suara kepada IDN Times pada Minggu (6/4/2025).
Gina mengakui sejak di undang-undang TNI tahun 2004, poin kontrol sipil terhadap pengerahan prajurit TNI memang kurang berjalan dengan baik. Namun, bukan berarti poin pengawasan itu harus dihapus.
"Pasal ini (pengawasan dan kontrol sipil) harus tetap hidup. Bila itu selama ini tidak berjalan, maka itu masalah implementasi oleh komisi I DPR," tutur dia.
Ia menggaris bawahi keputusan politik negara harus melibatkan kebijakan presiden dan DPR. Konsep DPR di Tanah Air menjadi representasi rakyat. "DPR sebagai reprensentasi rakyat harus dimintai pertimbangan dan persetujuannya," imbuhnya.
Soal kewenangan TNI di ranah siber juga ikut dipersoalkan. Digital Democracy Resilience Network (DDRN) mengatakan perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif dan militeristik. Dampaknya, hal ini akan membatasi ruang gerak sipil.
Namun, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Brigjen TNI Kristomei Sianturi membantah dengan perluasan kewenangan di dunia siber maka prajurit TNI akan memberangus kebebasan berekspresi warga sipil. "Gak lah, tugas kami bukan untuk hack percakapan di ponsel Anda. Bukan tugas kami itu. Ngapain juga? Tugas kami lebih besar dari itu," ujar Kristomei kepada IDN Times ketika berkunjung ke kantor IDN Media HQ pada 26 Maret 2025 lalu.