Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan selama tiga hari terakhir pemerintah risau lantaran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 anjlok. Pada 2021, skor IPK mencapai 38. Sementara, pada 2022 skornya terjun bebas ke angka 34.
Hal itu juga berdampak pada peringkat Indonesia. Semula Indonesia ada di peringkat ke-96. Namun, kini peringkatnya melorot ke ranking 110.
"Ini satu keprihatinan karena kita dulu saat melakukan reformasi, indeks persepsi korupsi (IPK) 20 pada tahun 1999. Setiap tahun naik sampai mencapai puncak tahun 2019 itu (skor) 40. Lalu, turun 38, kemudian tetap bertahan di (skor) 38 dan sekarang turun di angka 34," ungkap Mahfud di Yogyakarta kepada media pada Jumat (3/2/2023).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengakui bahwa hal tersebut menjadi penurunan tertinggi yang pernah dialami oleh Indonesia sejak era reformasi. Mahfud juga tak menampik dengan anjloknya skor IPK menandakan tindak korupsi di Tanah Air semakin banyak. Sebab, aparat penegak hukum masih melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Artinya, IPK kita bisa turun bukan karena upaya penegakan hukumnya karena (indikator) penegakan hukum itu naik. Yang dinilai itu tidak hanya pemberantasan korupsi saja, tetapi juga perizinan berusaha," tutur dia.
Mahfud mengaku sering mendapatkan keluhan sulitnya berusaha di Indonesia. Lantaran, situasinya penuh kolusi sehingga menyulitkan masuknya investasi ke Tanah Air.
"Orang sudah punya izin di satu tempat lalu diberikan izin ke orang lain. Sehingga, yang jadi masalah adalah birokrasi, perizinan dan kolusi," ujarnya.
Mahfud lalu menjelaskan atas situasi itu lah pemerintah kemudian merilis Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibuslaw. "Itu ditujukan agar proses perizinan tidak lagi bertele-tele," katanya lagi.
Apa benar anjloknya IPK Indonesia lantaran proses birokrasi yang rumit di Tanah Air?