DPR Tetap Sahkan Perppu Penanganan COVID-19 Meski Ditolak PKS

Perppu penanganan COVID-19 ini masih menyisakan polemik

Jakarta, IDN Times - Paripurna DPR RI Selasa (12/5) mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik COVID-19.

Sidang yang dihadiri 255 anggota DPR yang hadir virtual dan 41 hadir fisik menyatakan setuju Perppu 1/2020 diundangkan meski Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak.

“Apakah Perppu 1/2020 ini dapat disetujui menjadi Undang-Undang,” tanya Ketua DPR Puan Maharani kepada peserta sidang.

“Setuju,” jawab anggota dewan.

1. Perppu penanganan COVID-19 masih menyisakan polemik

DPR Tetap Sahkan Perppu Penanganan COVID-19 Meski Ditolak PKSIlustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Perppu penanganan COVID-19 ini masih menyisakan polemik karena dinilai sebagian pihak telah melahirkan ‘super body’. Dalam Perppu tersebut, pemerintah diberi imunitas dalam mengelola uang negara selama pandemik COVID-19.

Selain itu ada beberapa pasal yang juga dinilai melegalkan tindak pidana korupsi.
Delapan fraksi di Badan Anggaran DPR RI sepakat sedangkan PKS sebagai satu-satunya fraksi yang menolak. Lalu, apa alasan PKS untuk menolak Perppu COVID-19 ini menjadi Undang-Undang?

PKS menyebutkan pada pasal 12 ayat 2 Perppu 1/2020 menyatakan bahwa perubahan postur dan atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden. Hal ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-Undang atau yang setara.

Mereka berargumen bahwa berdasarkan UUD 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. “Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD NKRI Tahun 1945,” kata Wakil Ketua DPR RI Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam dilansir dari laman PKS.id, Rabu (6/5).

Baca Juga: Payung Hukum Dinilai Kuat, DPR Dukung Penerbitan Perppu COVID-19

2. Pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu 1/2020 tidak dapat dituntut

DPR Tetap Sahkan Perppu Penanganan COVID-19 Meski Ditolak PKSHasil rapid test virus Corona atau Covid-19 dari sejumlah santri Pesantren Al-Fatah, Temboro, Kabupaten Magetan. IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Kemudian, pada Pasal 27 ayat 2 Perppu 1/2020 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Maka hal ini bertentangan dengan prinsip supermasi hukum dan prinsip negara hukum. Padahal UUD NRI Tahun 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum.

“UUD tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum,” ujarnya.

3. Melumpuhkan peran BPK

DPR Tetap Sahkan Perppu Penanganan COVID-19 Meski Ditolak PKSKetua BPK Agung Firman Sampurna dan Jaksa Agung ST Burhanuddin (IDN Times/Helmi Shemi)

Mereka juga mempermasalahkan soal biaya yang telah dikeluarkan pemerintah atau lembaga anggota KSSK yang dinyatakan sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Biaya yang disebutkan dalam perppu itu dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional.

“Hal itu tercantum pada pasal 27 ayat 1, maka hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi. Padahal Peran BPK untuk memeriksa tanggung jawab keuangan adalah amanat konstitusi, sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Ecky.

Baca Juga: Ditolak PKS, Ini Catatan Kritis tentang Perppu Penanganan COVID-19

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya