Jurnalisme Warga dan Ancaman bagi Media Mainstream di Masa Pandemik

Lini bisnis media juga jadi penentu untuk bertahan

Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 membuat banyak media mainstream mencari cara untuk tetap survive di tengah ancaman kerugian bisnis. Selain mempertahankan ‘dapur’ mereka tetap hidup, media juga harus mempertahankan peran sebagai lembaga persnya dan tetap mendapat kepercayaan publik.

Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia Ilham Bintang mengatakan, warganet perlahan mengambil peran pers lewat media sosial dengan melakukan kerja jurnalistik meski bukan berlatar seorang jurnalis. Fenomena ini terlihat sejak lama di mana masyarakat menempuh jalannya sendiri untuk mendapatkan informasi, menggalinya, dan kemudian saling berbagi di platform media sosial.

“Mereka sudah sampai di tahap bagaimana membuat berita mempelajari laporan mendalam, investigasi dan lain sebaginya. Misalnya Deddy Corbuzier dan Bintang Emon, pekerjaan pers dikerjakan mereka,” ujar Ilham di acara diskusi Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu (27/6).

Lalu, bagaimana dengan peran pers masa kini dan cara survive media mainstream setelah diterpa pandemik?

1. Media mainstream harus tetap memegang teguh Kode Etik Jurnalistik

Jurnalisme Warga dan Ancaman bagi Media Mainstream di Masa PandemikIlustrasi pers (IDN Times/Arief Rahmat)

Ilham mengatakan untuk menjawab tantangan tersebut, media mainstream hanya punya satu jalan untuk tetap membedakan peran persnya dengan vloger atau warganet yang membuat konten jurnalistik.

“Pertahanan kita adalah menaati kode etik jurnalistik, hanya itu pertahanan kita. Kode etik ini diabaikan maka selesailah itu,” kata Ilham.

“Lalu kemudian ada problem dengan kita ketika Deddy dan Bintang Emon ditimpa dengan 20-30 media mainstream yang dikenal publik dengan kredibilitasnya ternyata kemudian menghadapi pelanggaran etika. Ini kan akan menyempurnakan kesan kita bahwa media mainstream mengalami masa yang suram kedepannya,” sambung dia.

Sebab, Ilham tak memungkiri jika posisi media mainstream saat ini bisa dikatakan kalah pamor dengan kerya jurnalistik yang dibuat vloger atau warganet.

“Kita sebagai media engap-engap mengejar hebatnya netizen contohnya Deddy yang bisa mengambil benang merah dari permasalahan pandemik COVID-19 ini. Viewer dia itu baru dua hari sudah lima juta," tuturnya.

"Pemred Jak TV menelepon saya untuk dihubungkan ke Rafi Ahmad, dia sekarang disuruh menjadi produser seluruh program yang bisa dibikin oleh dia (Rafi), dia memiliki followers 47 juta, duit semua bung itu, gak ada media followers-nya segitu, kalau diuangkan Rp800 juta per hari,” lanjut Ilham.

Baca Juga: COO IDN Media, William Utomo: Era Mobile-App untuk Bisnis Digital

2. Media harus merespons pelanggaran KEJ

Jurnalisme Warga dan Ancaman bagi Media Mainstream di Masa PandemikPemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis (IDN Times/Panji Galih Aksoro)

Menanggapi hal tersebut, Pemred IDN Times Uni Lubis mengatakan tugas media mainstream ialah untuk memastikan wartawannya memahami dan menjalankan Kode Etik Jurnalistik agar ada tanggung jawab sebagi media yang memiliki kredibilitas di mata publik.

“Wartawan bisa saja melanggar KEJ, New York Times beberapa kali melanggar kode etik yang parah. Tapi bagaimana media merespons pelanggaran KEJ itu dengan mengambil tindakan, meminta maaf ke publik, dan segala macam. Jadi itu pembeda media jurnalistik dengan media lainnya,” kata Uni.

“Bukan berarti media yang gak pernah melanggar KEJ itu berarti lebih bagus dan dapat dipercaya publik, itu tidak juga. Karena bisa saja melanggar dan kemudian bagaimana cara media tersebut merespons,” sambungnya.

3. Beradaptasi di situasi pandemik demi mempertahankan ‘dapur’ media

Jurnalisme Warga dan Ancaman bagi Media Mainstream di Masa PandemikIDN Media resmi meluncurkan IDN Programmatic OOH (Dok. IDN Media)

Sementara itu, di sisi bisnis, Uni menceritakan bagaimana cara media survive saat situasi pandemik ini. Dari segi pembaca, semua media mengalami dampak pandemik ini. Sebab, menurutnya, ada pola kerja yang berubah misalnya harus kerja dari rumah untuk protokol kesehatan.

Di saat seperti ini, adaptasi media menjadi penting. Media perlu melakukan akselerasi digital di seluruh industri tak terkecuali di media cetak.

Uni menuturjan pengalamannya di IDN Times. Dia  mengatakan pekerjanya yang rata-rata usianya 27 tahun cenderung adaptif dengan teknologi termasuk melakukan siaran langsung dari rumah atau kantor. Hal seperti ini yang mungkin menjadi contoh dan gambaran bagaimana media mainstream untuk survive di tengah mandemik.

“IDN Times mencapai hit tertingginya based Comescor bukan Alexa itu justru di bulan April jadi itu adalah pelajaran berharga dan itu membentuk normal baru,” ujar Uni.

Dari sisi iklan, Uni memastikan semua media pasti mengalami ‘turbulence’ baik TV, cetak, hingga daring.

Online iklannya turun karena semua industri melakukan cost effeciency termasuk ke iklan. Dihemat. Sekarang alhamdulillah, IDN Media revenue kena (dampak) ya, terutama event kayak Indonesia Millennials Summit yang bekerja sama dengan berbagai brand itu terkena. Tapi gak lebih 10 persen dari revenue ya jadi yang lain so far oke. Kalau kita mengandalkan iklan aja pasti ke-hit keras banget,” ujar Uni.

“Saya ngobrol sama ibu Susi Pudjiastuti, tenyata separuh barang yang ada di rumah kita itu gak penting-penting amat. Kaya kita punya baju 200 pasang, pandemik ini kan gak kepakai. Dalam bisnis juga seperti itu, buat apa kita merekrut banyak tapi dalam kondisi seperti ini malah menjadi beban anggaran. Jadi bisnis yang ramping itu sangat membantu untuk bertahan di tengah pandemik seperti ini,” sambungnya.

Baca Juga: Begini Cara Sejumlah Media Massa Bekerja di Tengah Pandemik COVID-19

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya