Ilustrasi pemungutan suara atau pencoblosan (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
Dalam sejarahnya, PDIP selalu kalah pemilu di Sumbar, meski peta perolehan suara partai dalam sejumlah pemilu dimenangi partai berhaluan nasionalis yaitu Golkar (2004), Demokrat (2009), Golkar (2014), dan Gerindra (2019).
Fadli Afriandi, dalam jurnalnya berjudul Rendahnya Dukungan terhadap Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan di Sumatra Barat, yang diuggah di laman journal.uinsgd.ac.id menyebut rendahnya suara PDIP di Sumatra Barat disebabkan kurang populisnya partai ini bagi masyarakat Sumatra Barat.
PDIP dianggap kurang sensitif dengan karakter masyarakat Minangkabau, identitas dan kebijakannya tidak sesuai selera masyarakat, serta rekam jejaknya yang kurang bagus bagi masyarakat setempat.
Ini berdampak pada rendahnya perolehan pemilu presiden (Pilpres) maupun pemilu legislatif (Pileg) pasca-reformasi. Misalnya, suara Joko Widodo di Sumatra Barat dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang selalu kalah. Jokowi sebagai kader PDIP dianggap memiliki gaya dan karakter yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat Sumatra Barat, dan kebijakannya dianggap masih belum berpihak pada masyarakat kecil.
Secara sosial budaya, Sumatra Barat merupakan wilayah yang dihuni sebagian besar suku Minangkabau yang merupakan suku asli wilayah ini. Lebih dari 80 persen populasi Sumatra Barat berasal dari Suku Minangkabau (Effendi 2014:109). Suku Minangkabau adalah suku asli Sumatra Barat yang masuk kategori mayoritas.
Ada suku asli yang termasuk suku minoritas, yaitu Suku Mentawai yang mendiami Kabupaten Kepulauan Mentawai (Effendi 2014:109). Selain suku asli, di Sumatra Barat terdapat beberapa suku pendatang yang hidup rukun, yaitu Nias, Aceh, Batak, Jawa, Sunda, Palembang, Lampung, Bugis, Maluku, Papua, Tionghoa dan India (Effendi 2014: 109; Eriyanti 2013:77). Meskipun ada suku-suku pendatang, adat Minangkabau sangat mendominasi pergaulan sosial masyarakat di Sumatra Barat.
Setidaknya terdapat tiga hal yang menyebabkan tidak berhasilnya PDIP meraih banyak suara di Sumatra Barat dalam beberapa pemilu pasca-Reformasi. Pertama, kurang sensitif dengan karakter masyarakat Sumatra Barat. Keberadaan PDIP di Sumbar dianggap kurang menarik bagi masyarakat di sana.
Fakta bahwa masyarakat Sumbar yang mayoritas memeluk Islam dan berkarakter Islam modernis kurang mampu ditangkap oleh PDI Perjuangan. PDIP bukanlah partai berideologi agama, khususnya Islam, melainkan berideologi nasionalis, sehingga banyak tindakan dari partai ini yang dianggap menjauhi kebijakankebijakan yang pro terhadap kemashalatan umat.
Kedua, identitas dan kebijakan PDIP. PDIP merupakan partai berideologi nasionalis dan marhaenisme yang erat dengan nilai-nilai, jati diri, ide, dan prilaku politik Sukarno sang proklamator kemerdekaan (Geraldy 2019: 140). PDIP tidak lepas dari pembelahan ideologi sebagaimana dikonsepkan oleh Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: santri, abangan, dan priyayi (Geertz 1976).
Menurut Geertz, santri adalah kelompok yang taat kepada ajaran Islam, abangan adalah kelompok yang tidak begitu dekat dengan ajaran Islam tapi lebih ke budaya atau adat, dan priyayi adalah kelompok bangsawan. Dari ketiga kelompok tersebut, PDI masuk ke golongan abangan (Herdiansah, Junaidi dan Ismiati 2017:64).
Partai-partai golongan abangan ini dipandang cenderung kepada partai nasionalis kiri, termasuk di dalamnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun PDIP hadir setelah PKI dibubarkan, terdapat kader PDIP yang keturunan kader PKI seperti Ribka Tjiptaning yang menulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI (Ningtyas 2020).
Ketiga, rekam jejak PDIP. Masyarakat Sumatra Barat adalah pemilih rasional (“Tanggapi Pernyataan Megawati, Pengamat Politik Unand: Pemilih di Sumbar Rasional”). Hal ini juga didukung lembaga survey Voxpol Center Research and Consulting yang menyatakan pemilih rasional di Sumatra Barat tergolong tinggi, yaitu 46,5 persen (Tarmizi 2020).
Pemilih rasional, menurut Lau dan Redlawsk (dalam Afriandi 2019;63), merupakan pemilih yang memiliki kemampuan mengenal, menganalisis informasi mengenai aktor politik, dan memilih berdasar pada kepentingan diri pemilih. Dalam hal ini, rendahnya dukungan masyarakat Sumatra Barat erat kaitannya dengan kiprah PDIP di parlemen.
Masyarakat Sumatra Barat menilai PDIP di parlemen suka berubah sikap dalam membela rakyat. Saat di luar pemerintahan, partai ini sangat gencar membela hak rakyat. Namun, saat berada di dalam pemerintahan, PDIP seperti kehilangan sikap pro-rakyat tersebut. Misalnya, soal harga BBM, kritikan partai terhadap APBN yang habis untuk pembiayaan Aparatur Sipil Negara (ASN), utang luar negeri, kenaikan tarif dasar listrik, impor beras, remisi untuk koruptor, dan juga privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
seperti kasus Indosat di era Megawati.