Tampak Depan Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat (Dok. Pribadi Daffa Ulhaq)
Awalnya, museum ini difungsikan sebagai pemakaman khusus bagi orang-orang Belanda yang mengemban jabatan penting di Batavia kala itu. Lahan tersebut mulai digunakan pada 1795 untuk menggantikan tempat pemakaman lain di samping Gereja Nieuw Hollandsche Kerk (sekarang menjadi Museum Wayang) yang sudah penuh.
Guide (bukan nama sebenarnya) menceritakan, saat itu Batavia tengah dilanda wabah penyakit, seperti muntaber atau diare dan malaria. Akibatnya, banyak masyarakat Batavia yang tewas sehingga halaman di samping Gereja Nieuw Hollandsche Kerk tidak dapat menampung banyaknya jenazah.
“Dulunya, Museum Taman Prasasti adalah tempat pemakaman khusus untuk orang-orang penting di Batavia. Pemakaman ini adalah pemakaman kedua, yang utamanya di Nieuw Hollandsche Kerk (sekarang menjadi Museum Wayang). Karena saat itu Batavia kena wabah pandemi, seperti malaria dan diare, akhirnya banyak masyarakat yang tewas. Terus karena pada saat itu banyak sekali warga yang meninggal, halaman gereja tuh nggak mampu lagi menampung banyaknya jenazah yang meninggal saat itu,” terang Guide kepada IDN Times, Selasa (15/4/2025).
Merespons hal itu, pemerintah kolonial akhirnya mencari lahan baru di bagian selatan kota Batavia untuk dijadikan kompleks pemakaman baru. Pemakaman kedua ini disebut Kerkhof Laan. Namun, karena masyarakat pribumi kala itu tidak mahir dalam berbahasa Belanda, lokasi ini pun disebut Kebon Jahe Kober.
“Karena penuh, pemerintah kolonial mencari lahan baru di bagian selatan yang jauh dari kota Batavia untuk dijadikan pemakaman dan dikenal sebagai Kerkhof Laan,” tambah Guide.
Dua abad setelahnya, tepatnya pada 1974 hingga 1977, dilakukan pemugaran dan pemakaman ini ditutup. Jenazah di dalamnya dipindahkan ke Ereveld Menteng Pulo maupun Ancol dan sebagiannya lagi dibawa pulang oleh keluarga ke tempat asalnya. Setelah dilakukan pemugaran, pada 1977 diresmikan menjadi museum oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin.