Ilustrasi (IDN Times/Aditya Pratama).
Lebih lanjut, kata Jimly, para anggota DPR sebagai peserta pemilu harus memahami batas-batas kewenangannya terkait dengan pelaksanaan hak angket dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
Pertama, maksud dan tujuan serta substansi isu yang hendak diputuskan, tidak melebar kepada isu-isu liar, seperti pemakzulan presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP.
Kedua, aspek "timing" dan jadwal waktu yang tersedia, sehingga pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD, dan presiden dan wakil presiden terpilih yang telah ditentukan benar-benar tidak terganggung untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945.
Selain itu juga KPU, Bawaslu, dan DKPP harus memahami kedudukannya sebagai cabang kekuasaan keempat di luar cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, legislatif, dan cabang kekuasaan kehakiman. Presiden/wakil presiden dan para anggota adalah peserta pemilu, sedangkan kekuasaan kehakiman, berfungsi mengadili proses dan hasil pemilu.
"Karena itu, KPU, Bawaslu dan DKPP adalah kekuasaan tersendiri yang tidak boleh tunduk di bawah tekanan para anggota DPR ataupun pasangan calon presiden/wapres sebagai peserta pemilu," beber Jimly.
"Apapun hasil pelaksanaan hak angket DPR tidak boleh dipaksakan efektifitasnya terhadap keputusan KPU mengenai teknis pelaksanaan tahapan pemilu beserta hasilnya kecuali atas perintah BAWASLU atau PT-TUN, dan Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang berlaku final dan mengikat," lanjut dia.
Lebih lanjut, Jimly tak memungkiri, pelanggaran yang biasa disebut kecurangan massif selalu terjadi dalam pemilu sejak orde baru, dan pemilu masa reformasi sejak 1999. Sejak dimulainya pilpres langsung pertama pada tahun 2004 hingga pemilu 2009, 2014, 2019, dan bahkan 2024 pada saat dimulainya praktik pemilu serentak.
"Pelanggaran massif selalu terjadi di semua pemilu, dan cenderung makin meningkat, termasuk ketika dimulainya praktik sistem suara terbanyak tahun 2009 yang menyebabkan caleg internal parpol saling bersaing sendiri-sendiri, dan puncaknya pada pemilu serentak 2024 yang menyebabkan perhatian terpusat ke pilpres," ujar dia menjelaskan.