ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)
Praktik joki dalam dunia pendidikan diduga sudah berlangsung lama. Salah satu contohnya adalah Viktor (bukan nama sebenarnya) yang pernah memakai jasa joki pada 17 tahun yang lalu.
Viktor mengatakan saat itu ia masih menempuh semester 6 pendidikan strata 1. Ia memakai jasa joki untuk mengerjakan tugas riset.
"Tugas riset soal iklan," ujarnya kepada IDN Times.
Saat itu ia harus merogoh kocek mencapai Rp150 ribu untuk mendapatkan data mentah tugasnya. Berdasarkan kalkulator inflasi, Rp150 ribu saat itu setara dengan Rp313.972 di tahun 2024.
Itu merupakan pengalaman pertama dan terakhirnya memakai joki. Saat itu ia merasa terbantu dan tak bersalah memakai joki.
"Lumayan ngebantu, walau tetap harus disusun ulang narasinya. Waktu itu lumayan ngebantu karena internet gak semudah sekarang," ujarnya.
Salah satu faktor terjadinya praktik joki adalah ekonomi. Hal ini dibenarkan oleh mantan penyedia jasa joki berinisial V.
V menyediakan jasa joki sekitar 10 tahun lalu. Saat itu ia merasa kekurangan uang untuk menunjang kehidupannya berkuliah di kampus swasta.
V mengaku tak banyak diberikan uang saku untuk berkuliah dan tak mau membebani orang tuanya. Bahkan, ia kerap memanfaatkan tempat-tempat publik untuk mengerjakan tugas demi menghemat pengeluaran listrik.
Ide menjadi joki tugas berawal dari seorang teman di kampus yang memintanya mengerjakan tugas dengan imbalan uang Rp200 ribu. Setelah itu, V mulai serius menekuni pekerjaan sebagai joki dan mematok biaya.
"Tarif yang dipatok antara Rp200 ribu sampai Rp500 ribu, tapi tergantung tugasnya juga," ujarnya kepada IDN Times.
Hal terberat yang pernah ia kerjakan sebagai joki adalah tugas akhir dan seminar proposal. Saat itu ia mematok harga sampai Rp2,5 juta.
"Paling besar waktu itu ngerjain seminar proposal. Tapi itu bukan skripsi," jelasnya.
Meski begitu, saat itu ia sudah sadar kalau hal yang dilakukannya tidak benar. Kini, V pun sudah tidak lagi menjadi penjoki tugas.
"Aku tahu itu sebenarnya gak boleh," ujarnya.