Ilustrasi pers ketika bekerja (IDN Times/Arief Rahmat)
Sementara, berdasarkan fakta yang disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), profesi jurnalis justru rentan dikriminalisasi dan dibui. Pada 2021, tiga jurnalis terpaksa mendekam di bui karena dianggap melanggar UU ITE, khususnya pasal pencemaran nama baik.
Dikutip dari Catatan Akhir Tahun 2021 AJI, ketiga jurnalis itu dibui karena memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik seperti dugaan korupsi, kebijakan pemda yang dianggap bisa merugikan publik dan penyerobotan tanah.
Jurnalis pertama adalah Muhammad Asrul yang bekerja di media berita.news. Ia dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Asrul yang merupakan editor itu memuat berita tentang dugaan korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan. Pengadilan Palopo menjatuhkan vonis 3 bulan bagi Asrul. Ia sudah menyarankan agar proses sengketa itu diselesaikan sesuai Undang-Undang Pers yakni melalui Dewan Pers.
"Sudah ada penyelesaian dan penilaian dari Dewan Pers bahwa Muhammad Asrul ini jurnalis dan beritanya itu merupakan produk jurnalistik, dan itu sudah firm (mantap), dan (pernyataan) itu keluar dari Dewan Pers,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI, Erick Tanjung ketika memberikan keterangan pers pada 29 Desember 2021 lalu.
Jurnalis kedua, yakni Sadli Saleh yang mengkritik kebijakan Bupati Buton Tengah, Samahudin. Pengadilan Negeri Pasarwajo, Kabupaten Buton menjatuhkan vonis 2 tahun bui untuk pria yang juga menjadi pemimpin redaksi di media lokal.
Ia mengkritik kebijakan Samahudin dalam proyek pembangunan jalan simpang lima. Tulisannya yang berjudul "ABRACADABRA: SIMPANG LIMA LABUNGKARI DISULAP MENJADI SIMPANG EMPAT" dianggap oleh majelis hakim telah menimbulkan kebencian di masyarakat.
Jurnalis ketiga, yakni Dianta Putera Sumedi. Pengadilan Kotabaru, Kalimantan Selatan menjatuhkan vonis bui 3 bulan dan 15 hari karena menayangkan tulisan penyerobotan lahan dengan judul "Tanah Dirampas Jholin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel."
Dianta dianggap telah melanggar pasal 28 UU ITE yang berisi penyebaran informasi untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok individu tertentu. Media tempat Dianta bekerja telah memuat hak jawab, meminta maaf dan mencabut berita tersebut. Tetapi, polisi tetap memproses kasusnya.
Usai pembacaan vonis, Dianta menyebut keputusan majelis hakim ini merupakan lonceng kematian bagi kemerdekaan pers. Sementara, Dewan Pers mencatat ada 44 kasus di mana mereka harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian terkait dugaan pelanggaran UU ITE.