JPPI: SD-SMP Swasta Harus Masuk Sistem Penerimaan Murid Baru Online

- JPPI menanggapi Putusan MK Nomor 3/PUU-XXIII/2025 terkait uji materiil Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas, yang mewajibkan pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar SD dan SMP negeri maupun swasta.
- Pemerintah harus memastikan semua anak bisa sekolah di jenjang pendidikan dasar, dengan menghitung jumlah anak yang akan sekolah di setiap daerah dan bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menampung calon murid.
- Pemerintah harus menyediakan kebutuhan pendidikan dasar gratis sesuai jumlah anak-anak yang bersekolah, baik untuk sekolah negeri maupun swasta yang bekerja sama atau tidak.
Jakarta, IDN Times - Kornas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid Matraji mengatakan, SD dan SMP swasta/sederajat harus masuk Sistem Penerimaan Murid Baru Online (SPMB) online. SPMB digunakan untuk mendaftar sekaligus seleksi masuk sekolah negeri.
Hal tersebut disampaikan Ubaid menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 terkait uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). JPPI merupakan salah satu Pemohon dalam gugatan ini.
Dalam putusan tersebut, MK mewajibkan pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar yang meliputi SD dan SMP negeri maupun swasta/sederajat.
"Sekolah-sekolah swasta itu harus masuk sistem online SPMB. Sehingga dari awal masyarakat sudah tahu bahwa 'kalau sekolah sini sudah penuh kuotanya, berarti aku nyari swasta yang ini'. Harus masuk sistem online ini. Kalau nggak masuk sistem online, masyarakat nggak tahu juga. Sekolah mana yang dibiayai oleh pemerintah," kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/5/2025).
1. Pemerintah perlu menentukan sekolah swasta mana yang akan dibiayai
Ubaid menegaskan, tugas pemerintah saat ini harus memastikan semua anak bisa sekolah di jenjang pendidikan dasar, sebagaimana perintah Putusan MK.
Menurutnya, pemerintah harus segera menghitung berapa jumlah anak yang akan sekolah di setiap daerah. Misalnya, daya tampung sekolah negeri di suatu daerah hanya 5.000 orang, sementara jumlah anak yang ingin sekolah ada 8.000 orang.
Maka pemerintah perlu bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menampung 3.000 calon murid tersebut.
"Kan ada sekolah swasta yang menolak Bantuan Operasional Sekolah (BOS), nggak butuh bos. Ini sekolah untuk menengah atas misalnya. Artinya bisa saja pemerintah nggak bekerja sama dengan sekolah-sekolah itu. Kita bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang sudah memenuhi standar pendidikan. Mereka diajak oleh pemerintah. Untuk menampung daya tampung yang kurang di situ," jelasnya.
2. Mekanisme jika ada masyarakat yang ingin di sekolah swasta khusus

Sementara, kata Ubaid, jika ada masyarakat ingin tetap sekolah di swasta yang tidak bekerja sama dengan pemerintah, maka konsekuensinya yang bersangkutan harus tetap membayar alias tidak gratis.
Pada intinya, pemerintah harus menyediakan kebutuhan pendidikan dasar gratis sesuai jumlah anak-anak yang bersekolah.
'Bahwa ada anaknya orang kaya misalnya, nggak mau ikut sekolah pemerintah itu karena standarnya. Mereka ingin sekolah yang full mandarin misalnya. Dia ingin sekolah swasta yang menggunakan full mandarin. Ya monggo saja. Tapi dia udah tahu bahwa pemerintah udah menyediakan di sini. Kamu nggak ambil, berarti kamu konsekuensi ambil. Jadi intinya adalah pemerintah menyediakan," ujar Ubaid.
"Kalau sekarang ini kan pemerintah nggak menyediakan. Pemerintah hanya menyediakan sekolah negeri. Sementara negeri kurang. Kalau kurang nggak disediakan sama pemerintah," sambung dia.
3. MK kabulkan gugatan UU Sisdiknas

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya terkait frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Putusan dari permohonan yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) diucapkan di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (27/5/2025).
Pada intinya, MK mengabulkan permohonan mengenai negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis baik untuk sekolah negeri maupun madrasah atau swasta. Adapun pendidikan dasar yang dimaksud Satuan Pendidikan Dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat.
Dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 ini, MK menegaskan, pemerintah pusat maupun daerah harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat,” kata Ketua MK, Suhartoyo membacakan amar putusan.