JPPR: Persepsi Publik Negatif soal Atribut Kampanye di Tempat Umum

Jakarta, IDN Times - Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menggelar survei persepsi publik terhadap atribut alat peraga kampanye (APK) di tempat publik.
Manajer Pemantau Sekretariat Nasional (Seknas) JPPR Aji Pangestu menjelaskan, hasilnya mayoritas publik cenderung memandang negatif soal keberadaan atribut kampanye yang tersebar di tempat umum.
1. Publik merasa tidak nyaman dengan atribut politik
Dalam survei persepsi publik dengan pertanyaan pandangan masyarakat terhadap pemasangan atribut politik di tempat umum, sebanyak 36,2 persen memandang negatif.
"Sementara, 31 persen masyarakat punya persepsi positif, dan 32,8 persen netral," ujar Aji dalam keterangannya, Senin (17/4/2023).
Hasil survei itu juga sejalan dengan tingkat kenyamanan masyarakat terhadap APK, di mana mayoritas di antara mereka merasa kenyamanannya terganggu. Sebanyak 56,9 persen publik mengaku atribut kampanye di tempat umum menganggu. Kemudian 32,7 persen merasa tak terganggu dam 10,4 persen netral.
Meski saat ini belum memasuki tahapan masa kampanye, kebanyakan masyarakat menilai bahwa atribut yang dipasang di tempat umum saat ini punya motif untuk berkampanye. Bahkan dalam survei JPPR, penilaian masyarakat terhadap motif kampanye di masa sosialisasi ini mencapai 65,6 persen. Sementara 32,7 persen menilai sebagai sosialisasi, di mana sesuai dengan tahapannya. Lalu, 1,7 persen lainnya netral.
2. JPPR temukan ratusan dugaan pelangg
Koordinator Nasional (Kornas) JPPR, Dian Nurlia Paramita menjelaskan, pihaknya menemukan setidaknya 143 alat peraga partai politik yang diduga melanggar ketentuan kampanye dipasang di tempat umum. Dia mempertanyakan keseriusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dalam menegakkan ketentuan peraturan.
"Atas dugaan pelanggaran tersebut, JPPR mempertanyakan kinerja Bawaslu RI dalam mendorong jajarannya untuk menegakkan ketentuan peraturan," kata dia dalam keterangannya, dikutip IDN Times, Senin (17/4/2023).
Pegiat kepemiluan itu juga menilai, sikap tidak tegas Bawaslu memicu munculnya polemik soal pemasangan alat peraga partai politik (parpol) sebelum masa kampanye.
"JPPR menangkap kesan ketidaktegasan Bawaslu dalam pernyataan-pernyataanya yang justru menimbulkan kesan tidak adanya larangan pemasangan alat peraga partai politik sebelum dimulainya masa kampanye dengan catatan tidak ada ajakan," ujar Paramita.
Berdasarkan pemantauan di berbagai daerah, JPPR menemukan setidaknya ada 16 provinsi yang jadi sorotan. Terdapat berbagai dugaan pelanggaran pemasangan alat peraga parpol sebelum masa kampanye.
Adapun provinsi itu di antaranya, Bali, Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Sulawesi tenggara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Paramita menjelaskan, JPPR menemukan ada 143 dugaan pelanggaran yang terdiri dari enam kategori alat peraga, yaitu baliho sebanyak 85 buah, spanduk 33 buah, stiker dua buah, pamflet empat buah, papan billboard satu buah, dan bendera 18 buah.
Lebih lanjut, dari ratusan alat peraga tersebut, sebanyak 68 buah alat peraga partai politik melanggar PKPU 33/2018 Pasal 25 ayat 3 huruf b.
"Kemudian 58 buah alat peraga melanggar ketertiban umum, 54 alat peraga memuat foto dan keterangan bakal calon, dan 11 alat peraga yang diduga memuat materi ajakan memilih," tutur Paramita.
3. JPPR pertanyakan sikap Bawaslu
Padahal, hal itu sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 25 ayat 2 PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Dalam aturan itu dijelaskan, partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai, dengan metode pemasangan bendera partai politik peserta pemilu dan nomor urutnya serta pertemuan terbatas, dengan memberitahukan secara tertulis kepada KPU dan Bawaslu satu hari sebelum kegiatan dilaksanakan.
Dalam hal ini JPPR mempertanyakan kinerja Bawaslu dalam mendorong jajarannya untuk menegakkan ketentuan Pasal 25 ayat 3 huruf b PKPU 33 Tahun 2018 sebagai ketentuan yang masih berlaku.
"Alih-alih memenuhi tugasnya, Bawaslu justru seolah-olah memberikan pernyataan yang tidak memiliki dasar hukum dan menimbulkan kesan memperbolehkan dilakukannya pemasangan alat peraga partai politik meski masa kampanye belum dimulai dengan syarat tidak ada ajakan untuk memilih," kata Paramita.
Padahal, temuan di lapangan secara jelas terdapat unsur kampanye dalam sosialisasi dan pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik, seperti terdapat nomor urut dan logo partai di tempat umum.